Matanya sehitam langit malam. Bukan. Matanya sehitam mata tupai, seperti mata alien. Hitam legam. Nah, itu kata yang tepat. Pria tua itu sibuk memaku nomor kamarnya. 314. Tapi rasanya dari tadi tidak selesai. Maksudku, pekerjaan seremeh itu seharusnya selesai dalam sepuluh menit.
Aku bahkan sudah berlalu ke sana-sini, main di koridor. Penghuni apartemen di sini memang sedikit. Sore-sore ribut sedikit tak masalah.
Kakek aneh itu masih belum beranjak. Padahal hari mau malam. Akhirnya aku berdiri tak jauh dari pintunya, memperhatikannya bekerja. Angka 314 cukup besar. Kemudian kusadari ada semut beriring dan sepertinya si kakek ingin memutus rantainya yang menuju angka 314 itu.
Tapi kok dia masih mengetuk-ngetuk di situ? Aku mendekat, setengah membungkuk melihat jari-jari panjang si kakek yang lincah menekan dan mengetuk.
Huh! Dia memaku angka kecil di situ. Deretan angka yang semakin kecil.
"Halo." Tiba-tiba saja dia menegurku. "Saya Distance. Comoving Distance." Suaranya serak, tetapi bersahabat.
"Archi," jawabku. Kulihat matanya belum berkedip.
"Archi?" Ia mendadak terlihat bersemangat.
Aku mengangguk. "Apa yang Kakek lakukan?"
"Ini?" Ia menunjuk pada deretan angka kecil. "Ini angka lengkapnya, tapi tidak akan pernah lengkap."
"Mengapa?"