Mohon tunggu...
Dessy Yasmita
Dessy Yasmita Mohon Tunggu... Desainer - valar morghulis

If you want to be a good author, study Game of Thrones.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kamar

23 Desember 2018   11:53 Diperbarui: 23 Desember 2018   12:27 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : allevent.in

Sudah lebih dari sepuluh tahun Naba tak mengunjungi rumah sahabatnya. Sejak bekerja di ibukota, kesibukannya meningkat. Kunjungannya kali ini pun tak bisa lama. Kebetulan ia berada sejalur dengan kota yang harus ia inspeksi.

Tak banyak yang berubah dari Toro, sahabatnya. Sedikit kelihatan lebih tua. Tentu. Usia mereka sudah menjelang 40 tahun. Namun, rumah Toro sendiri tak banyak berubah. Rumah keluarga ini memang telah diurus Toro sejak menikah. Beberapa adiknya sudah pindah, ikut suami. Orang tuanya masih di sini, sehat.

Keramahtamahan rumah ini pun tak berubah. Sambutan hangat yang tulus langsung diberikan begitu Naba tiba. Seperti keluarga saja. Perjamuan pun langsung digelar dan makan siang yang menyenangkan terasa cepat berlalu. Malam hari pun sama. Setelah perjamuan, Naba dan Toro punya waktu untuk mengobrol. Setelah itu mandi dan bersiap tidur.

Meski tak banyak yang berubah, Naba dapat merasakan kalau rumah ini lebih sepi. Begitu malam, ada beberapa kamar yang kelihatan gelap. Ia menyadarinya saat keluar meninggalkan kamar mandi. Ada sebuah cabang lorong yang gelap. Naba mencoba mengingat-ingat, ruang-ruang apa yang ada di sana.

Belum ia berpikir banyak, sepintas ia melihat seseorang berjalan di kegelapan. Aneh.

"Siapa itu?" Naba mengernyit.

Tak ada jawaban. Sosok itu kemudian terlihat lagi, berjalan membelakanginya, menuju sebuah kamar.

Dengan waspada Naba mengikutinya. Pelan-pelan ia bergerak, memastikan langkahnya tak berbunyi.

Kamar itu mendadak terang. Naba bisa melihatnya dari celah pintu. Agak gugup, disentuhnya gagang pintu. Tangannya yang lain mengetuk. Tak ada jawaban. "Permisi," katanya, agak segan.

Pintu berderit terbuka. Kamar itu kosong. Jelas ini kamar salah satu anggota keluarga. Terlihat dari perabotan yang ada. Juga, ini pasti kamar wanita.

Naba merasa bersalah. Namun, bukankah aneh kamar ini terpisah dari anggota keluarga yang lain? Juga jadi satu-satunya kamar berisi di lorong ini?

"Permisi." Sekali lagi Naba berkata. Kali ini lebih lantang. Hatinya cukup kalut. Ia pasti dianggap tidak sopan.

"Aku di luar." Suara wanita samar-samar terdengar.

Naba menimbang-nimbang dan memutuskan untuk tidak lebih jauh melangkah. Mungkin karena Naba tidak bereaksi, si empunya suara akhirnya kembali ke kamarnya. Dari kamarnya memang ada pintu ke taman.

"Oh, maafkan saya." Wanita itu masuk. "Saya tidak tahu ada tamu."

Naba memperhatikan. Wajahnya memiliki garis-garis seperti Toro. Apakah ini adiknya Toro? Yang mana? Rasanya tadi semua yang masih hidup dan sehat ada di ruangan.

"Silakan masuk."

"Ah, maafkan saya. Saya Naba, sahabat Toro, sedang berkunjung saja sampai besok."

"Naba? Rasanya saya pernah dengar. Ya. Pasti gunjingan pelayan sebelum Anda datang."

"Saya tidak ingin mengganggu. Tadi saya merasa melihat seseorang berjalan ke kamar ini. Karena gelap, saya hanya ingin memastikan bukan pencuri."

Perempuan itu tertawa. "Tidak ada pencuri berani ke sini." Ia kemudian memberikan sebuah senyum tipis. "Saya mengerti Anda harus beristirahat," katanya sambil mendekat.

Bau lavender sepintas tertangkap hidung Naba. Ketika dekat, ia bisa melihat dengan jelas kalau wanita itu masih cukup muda. Mungkin pertengahan usia dua puluhan. Meski agak kurus, pesonanya terlihat pada matanya yang hangat.

Mungkin karena pesona itu, Naba lupa menanyakan siapa namanya.

Setelah sarapan keesokan paginya, Naba berkesempatan untuk menyinggung soal wanita itu pada Toro.

Seketika wajah temannya itu memucat. "Tidak mungkin," katanya. "Itu jelas tak mungkin."

"Maksudmu?"

"Sejak kapan kau bisa melihat yang gaib-gaib?"

Naba jelas terkejut dengan pertanyaan itu. Perasaannya langsung kalut. "Tidak pernah. Aku bahkan selalu menganggap enteng penampakan hantu."

"Ran bukan hantu." Toro berkata penuh kehati-hatian.

"Ran? Bukannya dia sakit? Kau bilang kemarin dia sakit, kan? Karena itu dia di kamarnya. Iya, kan?" Naba tak punya ingatan soal Ran sebelum kunjungannya yang terakhir karena Ran tinggal di kota lain pada saat itu.

"Kau melihat ruhnya," jawab Toro pelan.

"Apa?"

"Dia memang mati suri, tapi jiwanya selalu berkeliaran di rumah ini. Terutama di kamar tidur lamanya. Kami memindahkan kamarnya supaya lebih dekat. Kamar lama terlalu jauh jika ada apa-apa terjadi." Toro diam sebentar, mengambil napas panjang. "Seperti apa dia?"

"Cantik, kurasa." Naba menjawab hati-hati sekaligus merasa aneh. Ia tak ingin membuat tuan rumah bersedih, tetapi juga merasa tak nyaman membicarakan orang seolah-olah sudah mati. "Ramah."

Toro mengangguk. "Dia selalu seperti itu. Ah, kalau kau bertemu dengannya dulu, kau pasti menyukainya. Kegilaannya sama dengan kita." Toro diam sejenak. "Kau beruntung bisa melihatnya." Kata-katanya mengambang seperti gumam. Pasti kenyakitkan tak bisa melihat rupa lain adiknya.

Siang itu sebelum melanjutkan perjalanan, Naba mengunjungi kamar si sakit. Ia jelas kelihatan berbeda. Jauh lebih kurus. Sepintas ia tampak sudah mati.

Bau lavender kembali terhirup oleh Naba. Sepintas ia mengedarkan pandangan. Di meja ada vas berisi lavender.

***

23.12.18 Setengah mimpi. Proyek #11

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun