Rambutnya memang pendek seperti laki-laki, tapi kau tetap bisa mengenalinya sebagai perempuan. Aku selalu melihatnya datang memakai rok, panjang atau pendek.
Ia selalu datang, menyodorkan paketku, menerima uang, memberi anggukan kecil, lalu pergi. Begitu saja. Tak sekali pun ia bicara. Kadang aku berkhayal, ia berbicara. Suaranya lembut. Cenderung malu-malu. Mungkin hampir seperti gumaman.
Kadang aku berpapasan dengannya di jalan. Namun, aku pura-pura tak melihatnya. Ia juga tak menghentikanku. Tentu saja. Sudah aturan kalau klien dan kurir pengantar tidak saling kontak di tempat umum. Namun, ia kurir yang paling aneh, menurutku. Selain tidak bicara, ia tidak pernah menggerakkan kepalanya ke sana-sini. Bahkan, di tempat sekali pun, ia seperti tidak tertarik dengan jualan kaki lima. Kurasa, ada bom pun, ia geming.
Akhir-akhir ini aku sulit mendapatkan pesananku. Jumlah penyedia dan kurir pengantar berkurang dengan adanya serangan-serangan Otoritas. Aku mulai merasa sakit. Namun, harus ambil risiko untuk mencari sendiri kebutuhanku. Begitulah awalnya aku beberapa kali berpapasan dengannya.
Dari pertemuan yang sekilas-sekilas itu, kusadari ia selalu memakai sesuatu yang berwarna merah, entah bros, syal, jaket, sweater, atau roknya. Ia tak pernah membawa tas. Sepertinya ia spesialis pembawa pesanan ringan atau barangkali ingin bergerak leluasa.
Hari ini aku harus pergi ke 'pasar', menemui penyedia baru setelah penyedia yang lama dibunuh Otoritas. Aku berjalan melewati gang-gang sempit dan pemukiman kumuh. Ya, pasar yang kumaksud cuma rumah biasa. Namun, letaknya cukup tersembunyi. Transaksiku memuaskan dan aku pun pergi.
Baru sepuluh meter kutinggalkan si rumah penyedia, kudengar bunyi keras. Aku terlempar beberapa meter. Raungan sirene. Teriakan orang-orang. Bunyi ... petasan?
Kepalaku sakit, tapi aku berhasil bangkit. Asap mengepul dari sebuah tempat. Apakah itu rumah penyediaku? Dor. Dor. Dor. Petasan lagi? Kulihat pesawat Otoritas melayang. Beberapa pengumuman lewat pengeras suara yang tak bisa jelas kudengar. Aku mengerti. Penyediaku pasti dibunuh. Sial.
Aku memutuskan untuk bersembunyi di sebuah gang. Jalan-jalan pasti sudah dikepung. Percuma berusaha keluar. Atau lebih baik paketku saja yang kubuang. Ya, pilihan ini lebih masuk akal.
Tepat sebelum tentara Otoritas berpapasan denganku, paketku sudah kulempar. Mereka sempat menanyaiku, kujawab seperlunya. Mereka berlalu. Aku pun melangkah, kembali masuk ke gang, tak terlalu jauh dari tempat ledakan. Kucium bau yang keras berasal dari kedalaman gang.
Dalam keremangan, aku melihat seseorang tergeletak. Buru-buru kudekati. "Kau tak apa-apa?"
Lalu aku tertegun. Kurir pendiamku tergeletak dengan kaki hampir putus. Entah bagaimana ia bisa menyeret dirinya ke dalam sini. Aku buru-buru memeriksa. Tertegun lagi. Di sela-sela darah ada cairan biru.
Humanoid. Manusia sampah!
Darahku langsung mendidih. Aku berdiri, menunggunya mati. Mati! Matilah!
Tubuhnya yang tersandar di dinding semakin miring lalu diam kaku. Wajahnya agak menunduk seperti tidur, meski matanya tidak tertutup sempurna. Beberapa helai rambutnya bergerak-gerak bersama angin yang bertiup. Aku berjongkok, menyentuh wajahnya. Ada sisa hangat.
Aku memang benci humanoid untuk berbagai alasan. Semua alasan itu bercampur dengan perasaanku. Aku membencinya, juga tak membencinya. Aku--
Kudengar langkah-langkah mengerikan. Otoritas!
***
Versi humanoid bisa dibaca di 2198: Klien.
(Berjam-jam gagal nulis. Akhirnya potongan gadis berambut cepak mampir di kepala. Cerita ini sepertinya akan memiliki versi si kurir, besok.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H