Lalu aku tertegun. Kurir pendiamku tergeletak dengan kaki hampir putus. Entah bagaimana ia bisa menyeret dirinya ke dalam sini. Aku buru-buru memeriksa. Tertegun lagi. Di sela-sela darah ada cairan biru.
Humanoid. Manusia sampah!
Darahku langsung mendidih. Aku berdiri, menunggunya mati. Mati! Matilah!
Tubuhnya yang tersandar di dinding semakin miring lalu diam kaku. Wajahnya agak menunduk seperti tidur, meski matanya tidak tertutup sempurna. Beberapa helai rambutnya bergerak-gerak bersama angin yang bertiup. Aku berjongkok, menyentuh wajahnya. Ada sisa hangat.
Aku memang benci humanoid untuk berbagai alasan. Semua alasan itu bercampur dengan perasaanku. Aku membencinya, juga tak membencinya. Aku--
Kudengar langkah-langkah mengerikan. Otoritas!
***
Versi humanoid bisa dibaca di 2198: Klien.
(Berjam-jam gagal nulis. Akhirnya potongan gadis berambut cepak mampir di kepala. Cerita ini sepertinya akan memiliki versi si kurir, besok.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H