Pernah ke Bukittinggi? Kota wisata ini terkenal salah satunya karena keberadaan Jam Gadang, landmark yang jadi ikon andalan di brosur-brosur pariwisata Sumatera Barat.
Jam Gadang sudah ada sejak 1920-an. Kata "gadang" yang berarti "besar" dalam bahasa Minangkabau, merujuk pada penampakannya yang berupa menara jam menjulang setinggi 27 meter. Berwisata ke kawasan Jam Gadang ini kalian tidak hanya bisa selfie-selfie, tapi juga duduk-duduk santai di tamannya, menikmati sejuknya angin pegunungan sambil kulineran.
Wiskul alias wisata kuliner di Bukittinggi memang menjadi salah satu tujuan pelancong datang ke Bukittinggi. Tidak heran, selama ini masakan Sumatera Barat -atau yang lebih dikenal sebagai masakan Padang- rasanya sudah sangat akrab dengan lidah masyarakat Indonesia pada umumnya. Tapi selain makanan "berat", Bukittinggi juga banyak jajanan unik, yang bisa kamu jumpai di kawasan taman Jam Gadang.
Yang akan saya sampaikan selanjutnya bukan cuma jenis-jenis jajanan yang ada di seputaran Jam Gadang saja, tapi lebih ke saran apa saja yang sebaiknya dikonsumsi terlebih dahulu. Bukan tanpa sebab. Di sekitar taman Jam Gadang ini banyak pedagang makanan, cocok untuk yang doyan jajan atau ngemil.
Tapi, jajan di sini pun harus pakai strategi. Kalau kalap, nanti terlanjut kekenyangan sebelum bisa mencoba semua jajanannya. Nah, berikut urutan jajan yang asyik di Jam Gadang menurut versi saya.
Jajanan pertama, karupuak kuah/karupuak mi.
Ini jajanan yang perlu dicoba pertama kali. Dalam Bahasa Minang, kata "karupuak" berarti kerupuk. Penampakan jajanan ini di kawasan Jam Gadang memang catchy sekali. Kerupuknya berbentuk setengah lingkaran, tersusun rapi dalam sebuah plastik transparan besar. Baru melihat tumpukan kerupuk itu saja pasti kalian sudah langsung menelan ludah.
Ada yang bilang namanya karupuak kuah, tapi ada juga yang bilang karupuak mi. Bentukannya sama saja kok. Walaupun namanya "kerupuk mi", tapi yang saya temui selama ini justru bukan mi yang menjadi komponenen utamanya, melainkan bihun berbumbu. Konon, ada juga penjual yang mengganti bihun dengan mi goreng.
Kerupuknya sendiri terbuat dari singkong, berbentuk setengah lingkaran yang berwarna coklat dan terlihat sangat garing. Rasanya seperti kerupuk opak kalau di Jawa. Bedanya, sang kerupuk tidak dimakan begitu saja.
Awalnya, permukaan kerupuk diolesi merata dengan kuah sate padang yang berwarna oranye itu, dan kemudian ditimbun bihun. Di atas bihun, ada yang kembali "menyiram" dengan kuah sate padang, atau dengan kuah kacang. Kuah kacang ini maksudnya bumbu kacang yang telah dilarutkan air. Seperti bumbu kacang pada gado-gado atau pecel kalau di Jawa.
Biasanya, kuah kacang ini memang ditambahkan untuk menambah cita rasa pedas. Jadi buat kalian yang tidak tahan pedas, sebaiknya wanti-wanti ke sang penjual supaya tidak menambahkan kuah kacang ini di kerupuk kalian, kalau nggak mau beresiko huh-hah kepedesan.
Tanpa kuah kacang, bagi saya jajanan ini sebenarnya sudah cukup nikmat. Kombinasi rasa asin, gurih, dan sedikit pedas dari kuah satenya sudah cukup sempurna. Belum lagi sensasi kriuk-kriuk yang menyertainya kala menggigit kerupuknya. Dan kenikmatan ini bisa ditebus hanya dengan selembar uang lima ribu rupiah saja. Murah kan.
Jajanan kedua, cindua langkok.
Untuk menetralisir rasa pedas-asin setelah menyantap karupuak mi, saya menyarankan kalian jalan sedikit ke arah deretan delman dekat air mancur. Di sana kalian akan menemukan gerobak dorong yang dipenuhi toples, dan beberapa durian yang tergantung di atap gerobak.
Jajanan ini namanya cindua langkok. Harganya sekitar sembilan sampai sepuluh ribu rupiah. Dalam bahasa Minangkabau, cindua langkok berarti cendol lengkap. Sesuai dengan namanya, minuman ini memang bukan sekadar cendol biasa. Dalam satu porsi cindua langkok, selain cendol juga ada ampiang (beras ketan yang ditumbuk pipih), yang kemudian diberi larutan gula aren serta santan. Rasanya manis dan segar.
Uniknya, minuman ini juga dicampur dengan lopis (makanan dari ketan yang dimakan dengan parutan kelapa di Jawa), dan juga daging durian. Penambahan durian disesuaikan dengan selera pembeli, dan juga ketersediaan musim buahnya. Dengan komposisi seperti itu, sebenarnya menyantap seporsi cindua langkok ini sudah cukup mengenyangkan.
Walaupun hawa Bukittinggi cenderung adem di waktu-waktu tertentu, namun bagi saya menikmati cindua langkok kurang pas rasanya bila tidak dalam keadaan dingin. Jadi jangan sungkan untuk meminta es batu untuk menambah kenikmatannya.
Jajanan ketiga, pensi.Â
Kalau masih ingin ngemil setelah menyantap karupuak mi dan minum cindua langkok, saya sarankan mencari pedagang yang membawa keranjang yang dipenuhi plastik-plastik kecil. Di dalam plastik itu kalian akan mendapati masakan berbumbu berwarna hitam. Makanan itu namanya pensi. Dengan lima ribu rupiah, kalian sudah dapat satu plastik kecil pensi.
Pensi sendiri adalah sebutan untuk kerang bercangkang hitam, yang konon berasal dari Danau Maninjau. Kerang-kerang ini bersama cangkangnya ditumis, atau diberi bumbu gulai. Pertama kali melihat pensi, saya yakin kalian bingung bagaimana cara makannya. Maklum, daging kerangnya super mini.
Nah, begini tutorialnya. Pertama, ambil kerang dari dalam plastik, kemudian colek bagian dagingnya. Jika susah mencungkil dagingnya yang mungil, coba gigit dagingnya dengan gigi depan (saking imutnya, satu kerang bisa kok dikunyah dengan gigi depan saja). Selanjutnya, isap-isap deh cangkangnya yang teroles bumbu. Cita rasanya cenderung asin, gurih, dan kadang ada sedikit rasa pedas.
Bagi saya, pensi ini enaknya dimakan ramai-ramai sambil ngobrol dan duduk-duduk di Jam Gadang. Seperti kalau kalian makan kacang atau kuaci gitu lah. Nggak asyik kalau nggak bareng-bareng. Tapi siap-siap ya kalau setelah makan pensi tangan kalian jadi dekil bin lengket.
Jajanan keempat, aia aka.
Untuk menetralkan rasa asin dan pedas setelah makan pensi, coba kembali ke lokasi gerobak cindua langkok tadi. Biasanya, ada gerobak lain yang dipenuhi botol-botol berwarna gelap. Gerobak itu menjual minuman tradisional bernama aia aka. Kalian mungkin mengenalnya sebagai cincau hijau di Jawa.
Aia aka juga dikenal dengan sebutan ubek tawa, yang secara harfiah bisa diartikan sebagai obat penurun panas. Bisa jadi, karena cincau hijau sendiri dipercaya berkhasiat sebagai pereda panas dalam.
Ada dua jenis variasi dari minuman ini, yaitu diminum dengan santan, atau dengan air daun kacang yang rasanya agak asam. Kebalikan dengan cindua langkok, minuman ini biasanya disajikan dalam suhu kamar saja tanpa menambahkan es.
Jika memilih variasi asam, biasanya air daun kacang akan diituangkan dari botol ke dalam gelas sampai kira-kira memenuhi dua pertiga isinya. Kemudian ditambahkan beberapa sendok cincau hijau yang tersimpan dalam toples, air jeruk nipis, dan sedikit larutan gula aren. Cita rasanya memang cenderung asam, namun ada sedikit rasa manis yang menyertainya.
Namun jika kalian memilih aia aka bersantan, maka setelah santan cair dimasukkan ke dalam gelas dan dicampurkan cincau hijau, selanjutnya ditambahkan larutan gula aren dengan porsi yang agak banyak. Aia aka bersantan terasa lebih manis. Dan walaupun diminum tanpa es batu, namun minuman ini terasa segar sekali.
Tebak berapa harganya? Empat ribu rupiah saja.
Jajanan kelima, pisang panggang.
Jika masih ada ruang di perut kalian, bisa dicoba jajanan lain yang saya rekomendasikan ini. Namanya pisang panggang. Ada beberapa lokasi di seputar Jam Gadang dimana kalian bisa menikmati jajanan ini. Kalian bisa menyusuri samping bangunan Pasar Atas, atau sekalian masuk ke dalam Pasar Atas dan langsung naik ke foodcourt-nya di lantai paling atas.
Jangan dibayangkan pisang panggang yang akan kalian makan itu berupa pisang yang dipanggang lalu ditaburi aneka toping seperti roti bakar ala Bandung itu ya. Pisang panggang khas Bukittinggi ini unik banget baik secara tampilan, cara pembuatan, maupun rasanya.
Awalnya, pisang dipanggang bersama dengan kulitnya. Setelah kulitnya agak menghitam, pisang kemudian dikupas dan diletakkan di piring. Dalam satu porsi seharga delapan ribu rupiah, biasanya ada dua buah pisang berukuran sedang. Sebelum disiram dengan kuah santan, jika ingin rasa yang lebih unik minta saja tambahkan roti. Namun roti yang ditambahkan di sini bukan roti tawar, tapi crackers (roti gabin).
Jajanan ini biasanya tersaji dalam keadaan hangat. Cita rasanya cenderung asin, namun rasa manis khas buah pisangnya tidak hilang. Harga satu porsinya sekitar delapan ribu rupiah, bisa dibilang murah untuk sensasi rasa yang didapatkan.
Jajanan keenam, es tebak.
Setelah jajan pisang panggang, saya sarankan kalian berjalan lurus sedikit ke arah Masjid Raya Bukittinggi. Kalian akan menemukan kedai es tebak di sebelah kiri. Kata "tebak" dilafalkan dengan [e], seperti melafalkan kata "ember".
Es tebak merupakan minuman dingin yang sangat menyegarkan. Komponan utama minuman ini adalah tebak, yaitu olahan tepung beras dan tepung sagu yang dibentuk kecil pipih seperti cendol. Umumnya, tebak berwarna putih.
Selama tinggal di Bukittinggi, saya menemukan beberapa variasi isi dalam seporsi es tebak. Sepertinya, tidak ada yang acuan yang pasti seperti apa komposisi es tebak itu sebenarnya. Secara umum, tampilannya sendiri seperti es campur, namun dengan komponen isi yang lebih sederhana.
Setahu saya, hanya ada satu kedai es tebak itu saja di seputaran Jam Gadang. Lokasi tepatnya adalah di samping bangunan Pasar Atas. Es tebak yang dijual di sana menurut saya adalah yang paling pas komposisinya; tidak terlalu banyak campuran dan tidak terlalu manis.
Semangkuk es tebak seharga sepuluh ribu rupiah di kedai itu berisi tebak, ketan hitam, dan tape singkong. Setelah itu, es serut ditambahkan untuk menimbun permukaannya sampai muncung. Es tebak siap disajikan setelah dilumuri  dengan sirup merah dan larutan gulla aren. Rasanya segar dan manis.
Jajanan ketujuh, pisang kapik.
Sebagai penutup --karena saya yakin perut kalian kali ini sudah benar-benar full- saya sarankan kalian jajan pisang kapik. Pisang kapik bisa dijumpai di depan bangunan Pasar Atas, yang mengarah ke Pasar Lereng. Harganya lima ribu rupiah untuk satu pisang.
Pisang kapik adalah pisang yang telah dikupas dan dipanggang di atas arang. Uniknya, pisang-pisang tersebut sebelumnya di-kapik (dikepit, bahasa Minangkabau) sehingga bentuknya menjadi pipih dan membulat. Setelah dibakar sampai agak hangus di beberapa bagiannya, pisang tersebut ditaburi parutan kelapa yang dicampur gula merah.
Cita rasanya bisa ditebak, cenderung manis. Tidak hanya itu. Aroma pisang kapik sangat menggoda kala pisang masih panas. Apalagi, pisang kapik biasanya dibungkus dengan daun pisang. Jadi ketika dibuka, aroma hangus pisangnya akan menguar, berbaur dengan wangi daun tersebut. Mencium aromanya saja pasti sudah bikin lapar lagi.
*
Urusan kuliner, Bukittinggi memang tidak diragukan lagi. Mudah-mudahan, panduan jajan ini bisa berguna jika suatu saat kalian berkesempatan ke kota wisata ini. Pesan saya cuma satu: tiati kalap.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H