Mohon tunggu...
Dessy Kushardiyanti
Dessy Kushardiyanti Mohon Tunggu... Dosen - No Limit, No Regret, No Excuse

Dosen Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Syekh Nurjati - Master of Arts, Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Content Creator Vs Netizen Vs Media

28 Mei 2021   10:50 Diperbarui: 29 Mei 2021   10:01 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keterlibatan content creator di jagad virtual semakin 'ada-ada saja'. Hal ini memicu keviralan yang bahkan melibatkan semua peran di dalam jagad dunia maya. Dalam konteks tulisan kali ini, yang dimaksud 'content creator' adalah kita semua. 

Ya! Kita semua adalah pembuat konten, sadar atau tidak sadar kehadiran mutual friends dalam algoritma sosial media akan menuntun konten kita untuk dikonsumsi oleh siapa saja di luar sana. Terlepas konten yang dibuat dapat memicu kontroversional atau tidak, kehadiran konten adalah bagian dari konsumsivitas publik di media mainstream.

Sedangkan netizen sekarang ini ibarat 'produk', keviralan yang timbul pada sebuah konten akibat dari penerimaan para netizen yang menganggap sebuah konten 'layak' untuk disebarluaskan dan diperbincangkan. Aktivitas engagement berperan di sini, terlepas netizen sebetulnya tidak peduli namun ketika Ia menyempatkan waktu untuk sekedar meninggalkan jejak engagement maka disitulah peran dalam sebuah konteks keviralan muncul pada subuah konten.

Siapa sangka, selain peran kedua aktor di atas masih ada media yang siap 'menggoreng' konten para konten kreator menjadi sebuah wacana berita yang siap menerima peluang tren di kalangan target pembaca. 

Segala bentuk informasi kini sering muncul sebagai akibat dari trending topic dan video viral dari sosial media. Tak disangka popularitas media sosial semakin lama dapat mengubah lanskap indsutri media secara siginifakan ( Nunung, 2018).

Sebagai contoh, belakangan ini telah viral sebuah video dari seorang netizen yang kecewa dengan harga pecel lele sekitar malioboro, dianggapnya harga pecel lele tidak lazim berlaku di kota Yogyakarta yang terkenal murah. Total harga yang Ia bayar untuk seporsi pecel lele + nasi + lalapan yatu Rp37.000. 

Awal kemunculan konten tersebut terlihat pada kolom komentar, mayoritas netizen bahkan menganggap sudah biasa dengan harga makanan yang mahal di sepanjang jalan Malioboro. 

Case seperti ini bukan untuk pertama kalinya, flashback tahun 2017 juga sempat trending topic di media sosial atas keluhan wisatawan yang menghabiskan biaya bekisar Rp342.000 belum termasuk minum es jeruk yang menyebutkan setara dengan harga nasi ayam lesehan di pinggiran.

Sumber: Akun TikTok @auliaroket
Sumber: Akun TikTok @auliaroket

Sumber: www.krjogja.com
Sumber: www.krjogja.com

Hal ini memicu reaksi dari para penerima konten dan exposure berita di berbagai kanal media massa. Berbagai pro dan kontra secara emosional dilontarkan walaupun sebatas di kolom komentar posting-an viral tersebut. Konten seperti ini jelas viral karena secara langsung menyebut sebuah destinasi wisata yaitu Malioboro, sebagai tujuan wisata utama di Yogyakarta. 

Keprihatinan utama kemudian timbul dari Paguyuban Pedagang Lesehan Malam Malioboro (PPLMM) yang menganggap bahwa konten keluhan soal harga hanya bagian upaya untuk menjatuhkan citra Malioboro dan Yogyakarta di dunia pariwisata.

kumparan.com
kumparan.com

Kemudian kita intip bagaimana media massa mengemas konten tersebut menjadi wacana berita:

Sumber: Tangkap layar dari Hasil Penelusuran Google
Sumber: Tangkap layar dari Hasil Penelusuran Google

Sumber: Akun Media Sosial @kumparan
Sumber: Akun Media Sosial @kumparan

Hampir seluruh headline berita menekankan pada harga "Rp37.000" atas konten viral tersebut, termasuk pemberitaan di berbagai akun media sosial. Sebuah pancingan reaksi, apakah wajar keluhan wisatawan menjadi viral karena dapat harga pecel lele seporsi Rp37.000 di Malioboro?

Kalau dilihat-lihat langsung pada sumber kontennya yaitu pada akun TikTok @auliaroket, posting-an tersebut menjadi salah satu konten dengan view terbanyak dibanding konten-kontennya yang lain yaitu total 1,3 views; 79,5 likes; 15,5 komentar; dan 2336 share. 

Satu posting-an wisatawan berdampak pada citra sektor pariwisata di Yogyakarta. Bayangkan kalau konten-konten sejenis ini kemudian memicu para content creator lain untuk me-review kebenaran harga yang katanya mahal di sepanjang jalan Malioboro.

Antisipasi pihak pemkot Jogja cukup tanggap dalam merespon beragam rekasi pada konten tersebut dengan memberi kepastian jikapun benar pemilik konten tersebut membeli makanan di sepanjang jalan Malioboro, pihak PPLM melalui ketua Desio Hartonowati menyebutkan bahwa itu bukan dari pihaknya dan tidak tergabung dalam paguyuban dan komunitas PPLM (Detikcom, 2021). 

Demikian pihak Pemkot yang telah menyisir bahwa betul tidak ada pedagang sepanjang jalan Malioboro yang mematok harga sedemikian mahalnya kepada pengunjung wisatawan.

Perdebatan netizen tak kunjung rampung di kolom komentar pemberitaan, banyak sudut padang kemudian muncul atas kasus tersebut, seperti standarisasi lalapan dijual terpisah, kewajaran harga yang sedikit lebih mahal karena di tempat wisata, harga lapak di sepanjang jalan Malioboro, hingga keprihatinan para pedagang kaki lima di tempat wisata selama pandemi.

Budaya jawa yang adilihung, sikap saling menghormati dan saling menjaga patutnya diterapkan dalam segala situasi dan kondisi. Akibat konten seperti ini tentu menambah masalah bagi pedagang kaki lima lain di tengah pandemi harus membayar sewa lapak yang tak kalah mahal di tempat wisata, mereka yang berjual dengan jujur dan mengikuti aturan paguyuban menjadi tercoreng atas beberapa oknum yang memicu keluhan di media sosial.

Di sisi lain, media sosial memang tempatnya berekspresi tanpa ada batasan standar konten bagi penggunanya. Namun, tentu sebagai pengguna kita harus cerdas dalam menempatkan diri, tidak semua opini bebas disampaikan di media sosial. Media sosial bisa merekam jejakmu dalam berpendapat termasuk sekedar di kolom komentar.

Bagaimanapun juga kehadiran konten yang melibatkan sebuah institusi hingga sektor industri adalah hal yang sensitif. Kamu bisa saja merasa aman dengan tameng "Perlindungan Konsumen", namun jika informasi yang disampaikan tidak benar, tidak kredibel yang pada akhirnya mencemarkan nama baik personal maupun intitusi/lembaga/sektor industri akan berimbas juga pada rekam jejak digital kita.

Harapannya media massa juga jangan kalah dengan media sosial. Dilansir melalui laman berita (Republika, 2021), Abdullah Khusari, Akademisi UIN Imam Bonjol menyampaikan bahwa sekarang ini media massa berada di belakang media sosial, media sosial mengambil seluruh fungsi media massa. 

Hal yang seharusnya terjadi yaitu, media sosial lah yang seharusnya mengutip segala bentuk informasi dari media massa.

Posisi media massa sebagai garda utama berita terpecaya diharapkan mampu mempertahankan wacana berita yang dapat dipertanggungjawabkan dan menjadi bagian dari pembentukan citra positif bagi segala sektor industri di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun