Beragam cara kini dapat digunakan masyarakat dalam rangka mendapatkan segala informasi melalui jejaring virtual. Tidak perlu waktu lama, banjir informasi dapat melanda siapa saja yang terlibat dalam aktivitas virtual di Internet. Belum lagi kini berbagai informasi juga saling sinkron pada media sosial dengan bungkusan konten yang dapat menarik penggunanya untuk mencari tahu hingga turut menyebarkan informasi tersebut ke dalam ranah yang lebih luas lagi.
Kemudahan aksesbilitas dalam internet juga menuntut penggunanya untuk dapat saling terhubung antar orang lain, mulai dari aktivitas mencari tahu kehidupan orang lain yang sebenarnya tidak harus diikuti alias sekedar ‘kepo’, rasanya kurang update kalau sehari saja tidak membuka story teman di Instagram.
Sebab itulah, kini kecanduan media sosial bisa dikatakan sebagai salah satu masalah sosial di Indonesia, beragam perubahan sosial di tengah society kini menghiasi timeline para pengguna Internet. Bisa dibayangkan aktivitas penggunaan internet selama pandemi tahun 2020 di Indonesia sebesar 73,7% setara 196,7 jiwa dengan mayoritas lebih dari 8 jam/ hari khusus untuk mengakses media sosial dan komunikasi virtual.
Salah satu dampak yang menghantui para pecandu media sosial yaitu Fear of Missing Out. Menurut (Pryzyblski et all, 2013) singkatnya, perasaan takut dan khawatir yang dirasakan oleh individu jika kurang update informasi aktivitas orang lain di media sosial, kondisi ini akan menggiring individu untuk selalu terhubung di dunia maya meskipun sebenarnya hal seperti itu tidak penting dan sungguh membuang waktu dan menguras emosional.
Ibarat panggung, media sosial adalah main stage para aktor yang memainkan peran hidupnya, terlepas yang di-posting oleh teman atau following kita betul real atau tidak yang jelas kita semua sama-sama memiliki peran di dalamnya, meskipun hanya sebagai penonton.
Dalam teori media gratification theory yang kemudian faktor-faktor penggunaan dan pemilihan media oleh individu telah dikembangkan oleh beberapa peneliti salah satunya adalah (Taylor et all, 2011) menyebutkan beberapa hal yang berkolerasi pada pemilihan media oleh individu diantaranya: percieved of informativeness, percieved of entertainment, percieved of self congruity, percieved of peer influence, percieved of quality of life, percieved of structure time dan percieved of privacy concern.
Jika diklasifikasikan kembali komponen utama yang berkaitan dengan sosial media, maka individu memilih media dalam mencapai kepuasan atas pertimbangan untuk mencari informasi, hiburan, remuneratif dan relasional.
Bisa dibayangkan sudah sebanyak apa to-do-list yang terbengkalai hanya karena persoalan ‘moody’ setelah melihat posting-an orang lain? Sudah terhitungpun, masih tetap melakukan aktivitas yang sama. Hal ini akan tetap memaksa siapa saja terjebak dalam lingkaran setan di dunia virtual, salah satunya sebagai akibat dari fear of missing out.Â
Untuk membantu Anda dalam mendeteksi diri, apakah Anda salah satu orang yang kecanduan media sosial, melalui website itstimetologoff.com (2020) telah merangkum beberapa indikator kecanduan media sosial:
1. Bangun tidur yang dicari HP, tidak lain untuk memeriksa media sosial
2. Setiap jam kerja rasanya gatal kalau tidak membuka media sosial
3. Cenderung khawatir kalau tidak memeriksa media sosial
4. Anda akan cenderung melihat perkembangan posting-an Anda yang baru di-post
5. Overthinking terhadap posting-an
6. Tidak ada hari tanpa aktivitas scrolling sosial media
Beberapa bulan lalu telah hype aktivitas komunikasi secara berkelompok dalam jejaring virtual yaitu Clubhouse. Aplikasi garapan Tesla Elon Musk ini memancing banyak milenial untuk mencoba dan saling terhubung dengan turut serta minimal sebagai peserta dalam bahasan berbagai tema sesuai segmentasi yang disukai.
Awalnya aplikasi tersebut hanya dapat digunakan di iOS, hal ini juga dapat menjadi pemancing para pengguna Android untuk berpindah ke iOS demi mengikuti trend clubhouse yang banyak diperbincangkan di media sosial.
Tak jarang beberapa bulan lalu kita melihat bersliweran konten screen shoot-an undangan untuk bergabung di aplikasi clubhouse oleh beberapa teman kita. Mungkin jika kita jarang menggunakan media sosial, kita hanya akan tau fenomena clubhouse ini hanya dari media massa yang turut mempopulerkan. Latahnya milenial di serba apa-apa media sosial ini lah yang kadang memicu sensitivitas FoMo.
Dimana seharusnya kita yang memanfaatkan Internet, malah kita sebagai pengguna yang kemudian seolah-oleh menjadi ‘produk’ dalam media sosial yang dimanfaatkan demi kepentingan engagement.
Kemudian jika kita flashback pada tahun 2018-an, kita sempat dihebohkan juga dengan kehadiaran Scretoo, masih ingat seberapa terbukanya kita terhadap justifikasi orang lain tentang diri kita di akun Scretoo? Sedikit Nostalgia, dengan adanya fenomena Scretoo ini juga menjadi turning point kecanduan media sosial dalam ranah privacy concern.Â
Di jaman itu bahkan kita memberikan kebebasan orang lain untuk menilai seperti apa diri kita, tentu ini akan memancing siapa saja untuk membuka ‘aib’ melalui Screto, dan meambah kecanduan penggunanya untuk terus periksa tiap tanggapan yang masuk. Tak jarang juga pengguna merasa insecure dan takut dengan segala tanggapan yang masuk tanpa mengetahui siapa pengirimya.
Itulah pentingnya kita untuk mengatur preferensi kita dalam menggunakan media sosial. Kedepannya mungkin akan bermunculan kembali fenomena-fonomena yang akan hype di tengah pengguna media sosial dengan memanfaatkan FoMo sebagai kondisi global yang mayoritas dialami milenial.
Bermain dengan media sosial tidak harus dipaksakan, apalagi hingga mengalami phsygology impact negatif dari sosial media seperti anxiety, depreesion, stress, loneliness yang memicu kesehatan mental. Jika, hal ini terjadi maka sudah waktunya Anda melakukan detox media sosial.
Berikut tips yang dapat digunakan untuk kamu yang ingin dtox di media sosial, menurut (Halimatus, Sa’diyah, 2021), yaitu:
1. Membeli jam walker/Alarm, untuk meminimalkan penggunaan gawai sebagai alarm di waktu bangun pagi.
2. Manfaatkan weekend Anda dengan aktivitas lain selain bersama media sosial, Anda tidak akan ketinggalan informasi hanya dengan uninstall media sosial di saat weekend, kan?
3. Tambahkan intensitas waktu kamu untuk mendapat dukungan dari keluarga, melalui mengobrol dan quality time.
4. Sisipkan waktu liburanmu ke tempat-tempat yang dapar me-refresh pikiran kamu dan ingat jangan ambil story di media sosial, ya!
Bagi Anda yang mengikuti kondisi FoMo ini pasti tak asing dengan istilah JoMo (Joy Missing Out), suatu kebalikan dari kondisi FoMo, ketika Anda sudah pada fase ini maka Anda akan merasa damai dengan apa adanya hidup Anda sekarang ini. Tidak masalah jika informasi yang Anda dapat tidak melulu dari media sosial, Anda akan merasa baik-baik saja justru ketika informasi yang didapat dari orang bersangkutan langsung tanpa harus ‘kepo’.
Ada pesan dari (James Leonardo, 2021) praktisi di Badan Siber dan Sandi Negara yang concern dalam perlindungan dari aktivitas cybercrime, maka bijaklah Anda dalam bermedia sosial dengan:
1. Menjaga Browsingmu sebagaimana engkau menjaga pandanganmu,
2. Menjaga Postingmu sebagaimana engkau menjaga tanganmu,
3. Menjaga Comment-mu sebagaimana engkau menjaga lisanmu,
4. Menjaga Datamu sebagaimana engkau menjaga nama baikmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H