Mengenal Museum Rumah Atsiri Lebih Dekat
Bersentuhan langsung dan mencium aroma lama tentang museum, entah kenapa saya selalu tergerak. Seolah ditakdirkan menjadi salah satu penggiat sejarah reinkarnasi yang lahir sama tuanya dari penduduk Kerajaan di jaman Singosari. Mencintai cerita dibalik proses panjang suatu bangunan tua, menjadi sesuatu ketertarikan lain untuk saya gali lebih dalam lagi, perihal sejarah yang masih bersembunyi malu-malu di suatu tempat dari gerombolan kalimat yang hendak saya bagikan lebih banyak kepada masyarakat luas, tentang mengenal isi perut serta kiprah dari Museum Rumah Atsiri. Ibarat penggalan kata bagi anak abege kekinian istilahnya berubah, dipersingkat menjadi PDKT. Agar mereka juga mampu menelan tulisan, tenggelam, berenang-renang, menyelam, namun kita sama-sama menikmatinya. Tulisan tentang museum sengaja saya tulis dengan nuansa yang lebih segar dari biasanya, tanpa mengambil gaya vintage dalam pilihan kata tulisan lama, yang biasa berada dalam kosakata pemilihan di buku-buku sejarah yang usang, kerapkali hanya mengena pada satu, dua, tiga kalimat saja yang terbaca, namun murid-murid terlanjur ngantuk dan dehidrasi. Mungkin sedikit harus berubah haluan sementara, selipan guyonan kecil hanya sebagai tim hore agar mata tidak terlalu lelah membaca kalimat yang panjangnya melebihi kain sari pakaian asal India. Sebab, kita hendak membahas soal sejarah yang tidak semua orang tertarik mengenai cerita panjang berlarut-larut. Iya apa nggak? *Nguap.
Ragam aktifitas menulis yang bermanfaat dan menggali informasi yang akurat adalah cara kesenangan paling sederhana, menyenangkan, serta sanggup memeluk diri sendiri dan mengasah otak-otak yang kian tumpul dan haus akan edukasi berserta debu-debu dari jejak cerita dan kisah lama termasuk menjelajah dan menapaki kembali beberapa kenangan yang ditinggalkan Atsiri, sebuah kenangan mirip cerita para mantan yang kerapkali membuat kita teringat kembali, terus, lagi dan lagi. Baper. Sebab, kiprah museum minyak Atsiri kelak akan menjadi “Kawasan Wisata Baru” di daerah Tawangmangu, sebuah keberadaan peninggalan sejarah terpencil di lereng Lawu. Akan ada beberapa kegiatan yang akan digalakkan yaitu menjadi tempat science yang menyenangkan dan sebagian lahan akan upgrade menjadi taman berbagai jenis tanaman yang bisa di destilasi (disuling) menjadi minyak atsiri, supaya pengunjung tahu Indonesia punya sumber “Mas Hijau”. Istilah Mas Hijau bukan diartikan sebagai “Mas-mas yang berbaju hijau”. Bukan. Tolong. Please.
Ini beda cerita. Ini sejarah.
Mengulik dan menggelitiki sejarah Atsiri Indonesia, rupanya pabrik Atsiri ini dulunya adalah bangunan gagah perkasa dari sebuah proyek mercusuar Bung Karno, yang hilang dan menjadi serpihan-serpihan kenangan dari catatan dokumentasi Arsitektur Indonesia, karena letaknya agak terpencil dan jauh di kaki Gunung Lawu, Tawangmangu. Walau pun sebenarnya kalau ditelisik lebih dalam pada perbandingan komedi fiksi, sepertinya lebih jauhan bukit angin hitam yang menjadi ajang pertempuran Sun Go Kong di komik Kera Sakti. Cikal bakal terbentuknya Pabrik Atsiri ini pun ada, karena pada masa Soekarno setelah dekrit presiden 1959, politik luar negeri Indonesia banyak melakukan kerjasama dengan negara komunis blog-timur. Dan pabrik penyulingan minyak atsiri ini merupakan bentuk kerjasama tersebut, antara Indonesia dan Bulgaria. Dengan adanya kerjasama itu di Indonesia kini sedikitnya tersebar 40 jenis tanaman atsiri, antara lain sereh, akar wangi, nilam, dll. Juga sejak perang dunia II, minyak atsiri merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Cadas memang sejarah Museum Minyak Atsiri. Bravo.
Penelusuran sejarah bangunan bekas pabrik minyak sereh "Citronella" ini pun tidak lantas menghilangkan jasa-jasa besar dari Keluarga Sastro Lawu. Sastro Lawu salah satu sosok komandan Batalion Lawu yang disegani pada masa setelah perang kemerdekaan. Saya pikir sebelum melihat fotonya, Sastro Lawu berkarakter garang dengan kumis tebal melengkung mirip Pak Raden di film si Unyil, ternyata pandangan saya salah. Pak Sastro Lawo berperawakan gagah, ganteng dan berkharisma. Beliau diperintahkan oleh pemerintah pada tahun 1963 untuk mencari lokasi dan membangun pabrik sereh yang kemudian diberi nama Citronella. Dengan niat baik yang hadir dalam sosok beliau yang berkeinginan untuk memajukan daerah Tawangmangu dengan membuat sebuah pabrik, sehingga masyarakat dapat bekerja sekaligus menjadi sundulan yang tepat untuk menaikkan taraf hidup di sana, kalau bahasa sekarang mungkin sudah banyak yang bilang “Sundul Gan” ala-ala anak kaskus. Sampai akhirnya niat baik beliau sukses di-iyakan Tuhan. Maka berdiri kokohlah bangunan pabrik ini, berkat jasa-jasa beliau. Walau pun ketika saya telusuri lebih dalam rupanya bangunan berdiri tidak sampai 100% selesai, hanya berada dalam angka 80% disebabkan peristiwa pergolakan politik G30S. Sudah mumet belum, semoga belum... kita lanjut penjelasannya ya.
Rupanya, goyangan tidak hanya menjadi pemilik penyanyi dangdut saja, goyangan juga bisa terjadi dari gempa yang seringkali hadir tanpa permisi dan bilang-bilang kerapkali menguji kokohnya Pabrik Atsiri dulu, pabrik yang terkena gempa pada tahun 1975-an, sehari bisa sampai terjadi 25 kali gempa, meskipun begitu bangunan tetap tahan tanpa retak, inilah salah satu kelebihan Rumah Atsiri dari sisi perencanaan pembangunan yang sudah dirancang untuk masa yang panjang. Ditambah material bangunan dan semen jaman sekarang dibandingkan dengan jaman dahulu tentu kualitasnya juga mungkin sudah jauh berbeda. Curhat.