Ia menggaris bawahi “Bahwa mineral mentah harus diproses dan dimurnikan di dalam negeri”
Ditegaskan Hatta, setelah disahkan DPR, UU tersebut harus dijalankan selambat-lambatnya 12 Januari 2014. Dengan berlakunya UU tersebut maka, Indonesia mengakhiri era hanya menjual bahan mentah ke luar.
Di sisi lain, Rusia melalui perusahaan RUSAL tertarik membantu Indonesia mengembangkan industri alumunium untuk mengatasi ketidakwajaran dari skema yang ada saat ini.
Menurut Mikhail Kuritsyn Direktur Dewan Bisnis Indonesia-Rusia"Jelas proyek ini luar biasa besar, karena ini bukan hanya tentang pengolahan, tapi juga pembuatan infrustruktur logistik seperti pelabuhan, pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain. Proyek RUSAL di Indonesia ini bisa mengembangkan seluruh zona industri di Kalimantan Barat dan menjadikan daerah ini salah satu zona geografis di Indonesia yang paling kuat dari segi prospek industri,"ujar Kuritsyn pada Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) April lalu.
Apabila kita mampu mengolah bahan mentah tersebut menjadi produk yang memiliki nilai tambah, maka bukankah negara kita akan naik satu peringkat sebagai salah satu prasyarat untuk kita menjadi bangsa yang mandiri, bangsa yang maju, bangsa yang tidak tergantung bangsa lain.
Sampai di titik pemikiran tersebut sebagai orang yang awam akan hal ini saya setuju, namun jika dikaji ulang....
Pandangan sisi negatif pasca terbitnya PerMen ESDM No. 1 Tahun 2014 tanggal 12 januari 2014 dimana mineral mentah (ORE) bauksit dilarang ekspor, perusahaan tambang bauksit sudah menghentikan operasi produksinya dan terpaksa harus memberhentikan +/- 40.000 karyawan. Dengan berhentinya operasi produksi dan ekspor bauksit tersebut, diperkirakan negara telah kehilangan kesempatan untuk memperoleh devisa per tahun sebesar +/- Rp 17,60 Trilyun , penerimaan pajak sebesar Rp 4,09 Trilyun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 595 Milyar; selain juga hilangnya manfaat langsung yang diterima oleh masyarakat dan melemahnya roda perekonomian masyarakat di sekitar lokasi pertambangan.
Ironi... Dilema memang...
Di satu sisi tujuan pemerintah pusat melakukan pelarangan ekspor bauksit dalam bentuk mentah juga perlu diberikan apresiasi, karena akan meningkatkan nilai jual komoditi. Tapi di sisi lain pemberlakuan yang terlalu cepat mengakibatkan daerah tidak siap untuk membangun pabrik pengolahan alumina sehingga terpaksa dihentikan dan mengakibatkan pengangguran. Contoh nyata daerah yang kena getahnya adalah KEPRI karena mengakibatkan pengangguran sekitar 5.000 orang untuk Tanjungpinang, Bintan dan Lingga. Banyak kerabat dekat saya yang berasal dari Kepulauan Riau. Di Tanjung pinang sendiri terdapat enam perusahaan tambang, di Bintan ada 12 perusahaan, dan di Lingga sekitar 5 perusahaan. Jika masing-masing memperkerjakan 200 karyawan, maka akan ada sekitar 5 ribu pengangguran akibat hal ini. Kelanjutan nasib mereka beserta keluarganya tentunya harus menjadi perhatian, agar tidak menimbulkan permasalahan sosial. Peraturan itu meresahkan, karena tidak mungkin dalam waktu tiga bulan pengusaha dapat mengekspor bahan mineral setengah jadi. Untuk membuat bahan mineral mentah menjadi bahan setengah jadi harus melalui proses pemurnian.
Sementara tahapan pemurnian membutuhkan investasi yang besar, tenaga ahli, teknologi yang canggih dan waktu yang cukup lama untuk proses perizinan. Tetapi pemerintah tidak mampu mengeluarkan izin dalam waktu tiga bulan. Izin untuk usaha pertambangan yang dilakukan selama ini, membutuhkan waktu sekitar 2 tahun.
Menurut Simon sembiring menyayangkan sikap pemerintah yang sangat lunak terhadap perusahaan pertambangan asing yang masih diberi kompensasi untuk melakukan ekspor mineral sambil mereka berencana membangun smelter. Sementara perusahaan dalam negeri yang sedang berusaha untuk membangun smelter tidak diperhatikan. Contohnya adalah PT Well Harvest Winning Alumina Refinery milik Harita Group di Ketapang, Kalimantan Barat yang tahap pembangunannya sudah mencapai lebih dari 40% namun akhirnya harus terhenti karena tidak adanya pendapatan dari hasil penjualan bauksit. Ia membandingkan Harita Group dengan perusahaan asing (PT Freeport dan PT Newmont) yang masih akan berencana membangun smelter dan belum melakukan studi kelayakan yang diberi relaksasi ekspor bahan mentah sementara sambil mereka membangun smelter.
Sedangkan banyak artikel terkait yang menjelaskan tentang berkaitan dengan bauksit yang selama ini di ekspor Indonesia, dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama Metallurgical Grade Bauxite (MGB) yang mempunyai kadar Al2O3 sebesar > 47%. MGB merupakan bahan baku yang dibutuhkan untuk industri pemurnian bauksit menjadi alumina yang dikenal dengan nama Smelter Grade Alumina (SGA) yang mempunyai kadar Al2O3 sebesar 98,5%. MGB tersebut diatas berdasarkan penelitian pakar LAPI ITB layak disebut “bauksit olahan”, karena telah melalui proses crushing, washing, screening, dan drying sehingga terjadi peningkatan kualitas dari kadar Al2O3 yang tadinya 30 – 40% menjadi > 47%, penurunan volume dari 1 menjadi 0,5, serta penurunan kadar R-SiO2, Fe2O3, dan TiO2. Berdasarkan hasil penelitian ini tampak secara jelas bahwa bauksit yang di ekspor bukan merupakan mineral mentah atau ORE.