Sejak Zaman orde baru, Pemilihan Umum (PEMILU) di Indonesia memiliki enam asas yang penting yaitu LUBER JURDIL. Artinya, Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Namun pada pemilihan presiden pada tahun 2024, ada beberapa hal kasus yang menjadi perbincangan hangat di antara Masyarakat bahkan di dunia maya. Salah satunya adalah adanya perdebatan antara Romo Magnis dengan pendukung calon presiden nomor 02. Sebenarnya Romo bukan ingin memperdebatkan namun untuk memberi pandangan dan juga meluruskan apa yang sebenarnya harus diluruskan.
Dalam persidangan perkara perselisihan hasil pemilihan umum ( PHPU) tahun 2024 di Makhkamah Konstitusi, Romo Magnis dihadirkan oleh pasangan calon nomor 01 dan 03 sebagai ahli.
Franz Magnis menyoroti terjadinya sejumlah pelanggaran etika dalam Pemilu 2024. Salah satunya pendaftaran Gibran Rakabumiung Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden pendamping capres Prabowo Subianto. Romo Magnis mengatakan bahwa adanya pelanggaran yang dilakukan oleh KPU karena telah menerima pendaftaran Gibran tanpa merevisi peraturan KPU.
 Romo juga menyoroti atas keberpihakan Presiden dalam Pemilu 2024 dan penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Romo, Presiden boleh saja berharap menang kepada salah satu calon. Namun, saat Presiden memakai kedudukan dan kekuasaan untuk memberi petunjuk kepada ASN untuk memilih salah satu calon yang diinginkan menang, maka Presiden telah melanggar etika. Ketika melanggar etika maka seorang Presiden telah kehilangan wawasan tentang etika tentang jabatan Presiden.
Pernyataan Romo ini menjadi sorotan dan perbincangan hangat publik. Banyak yang mendukung pernyataan pernyataan Romo dan banyak juga yang bertantangan dengan pernyataannya.
Salah satu yang menentang pernyataan tersebut adalah Kuasa Hukum Pasangan calon Nomor 2, Yusril Ihza Mahendra. Ia menilai Romo Magnis telah memberikan pandangan filosofis dan akademis, tetapi letak kesalahannya adalah karena men-judge seseorang (presiden) tanpa bukti yang kuat.
Yusril menilai Romo Magnis gagal paham dengan pelanggaran etik sebagaimana keputusan MKMK, dengan konsep etik dalam ilmu filsafat seperti yang dijelaskan filsuf Immanuel Kant dan Thomas Aquinas bahwa norma etik lebih tinggi dari norma hukum.
Yusril memberi pertanyaan kepada Romo, apakah pelanggaran etik filsafat membuat implikasi pada penyelenggaraan negara harus begini-begini dan apakah itu akan menggeser keputusan yang didasarkan atas norma UU?
Merespons hal itu, Romo Magnis menyatakan pengabaian terhadap putusan pelanggaran etika berat yang diputuskan MKMK tentu memberi kesan bahwa asal berkuasa maka etika dan hukum tidak perlu diperhatikan.
Kondisi ini, pada akhirnya akan memperlemah struktur negara Indonesia sebagai negara hukum. Pengabaian terhadap suatu keputusan bahwa terbukti ada pelanggaran etika berat, maka dari sudut padang etika merupakan bentuk pelanggaran etika berat. Kalau masyarakat mengalami bahwa (pelanggaran) etika secara berat bisa dilanggar demi suatu tujuan politik, dengan sendirinya paham penguasa melakukan itu akan turun, akan ditaati karena dia berkuasa, tidak karena keyakinan lagi (pada aturan UU).
Romo juga mengatakan bahwa, kalau masyarakat mengalami bahwa (pelanggaran) etika secara berat bisa dilanggar demi suatu tujuan politik, dengan sendirinya paham penguasa melakukan itu akan turun, akan ditaati karena dia berkuasa, tidak karena keyakinan lagi (pada aturan UU).
Romo Magnis kemudian menyinggung pendapat filsuf Immanuel Kant tentang konsep suatu negara yang ditata sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang adil dan bijaksana, maka akan dengan sendirinya warga negara akan taat dan patuh  kepada aturan hukum.
Romo juga menambahkan, kalau suatu negara mengabaikan aturan UU maka akan muncul pengingkaran terhadap suatu aturan hukum. Orang secara etis tidak akan merasa melakukan apa-apa kalau tidak taat pada negaranya supaya tidak kena. Romo mengibaratkan seperti lalu lintas jika membawa kendaraan dengan motor lalu melawan arah, apakah itu pertimbangan etis atau tidak?
Penulis sendiri setuju dengan apa yang sebenarnya Romo nyatakan dalam debat tersebut, dimana pandangan Romo sebenarnya adalah pandangan yang mengikuti aturan hukum.
Sesuai dengan pendapat Immanuel Kant tentang konsep sutu negara yang ditata dengan aturan perundang-undangan yang adil dan bijaksana. Menurut penulis, sikap Presiden ketika menyetujui dari salah satu pasangan calon presiden itu adalah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.Â
Ketidakadilan Presiden tersebut terlihat ketika Presiden memberi petunjuk kepada ASN untuk mendukung putra sulungnya tersebut. Tentu saja ini melanggar etika dasar dari sebuah aturan hukum dimana presiden mementingkan kesenangan pribadi daripada kepentingan masyarakat.Â
Pernyataan-pernyataan pendukung Gibran juga merupakan salah satu pelanggaran etika dasar dari sebuah peraturan. Sebagaimana yang Romo sebutkan bahwa ada lima poin penting pelanggaran etika pemilu yang dilakukan oleh Presiden yaitu: Â Pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
- Pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. .
- Â Keberpihakan Presiden Joko Widodo dalam Pilpres 2024
- Â Nepotisme.
- Â Pembagian bantuan sosial.
- Â Manipulasi-manipulasi dalam pemilu.
Pelanggaran etika yang paling  berat menurut Romo sendiri adalah ketika pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Tentu hal ini menjadi satu pelanggaran berat etika di Indonesia. Romo Magnis juga  menyoroti pembagian bantuan sosial (bansos). Menurutnya, bansos bukan semata-mata milik presiden, namun milik semua bangsa Indonesia yang pembagiannya sudah diatur oleh kementerian dengan aturan yang ada.Â
Adapun pelanggaran etik lainnya berupa manipulasi dalam proses pemilu yang terlihat gamblang. Ia berpendapat hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap etika dan demokrasi. Tindakan semacam ini memungkinkan terjadinya kecurangan yang merusak integritas proses demokrasi.
Sesungguhnya hal seperti itulah yang harus kita hindari sebagai warga negara di Indonesia ini. Sebagaimana kita adalah negara yang memiliki aturan yang  berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara yang harus dipatuhi dan ditaati oleh setiap warga negara. Sebagai pemimpin seharusnya harus bersikap adil dan tidak pilih kasih terhadap warga negara.Â
Pemimpin seharusnya harus menjadi contoh kepada masyarakatnya. Ketika seorang pemimpin ingin rakyatnya mau patuh dan taat terhadap pertauran yang ada, maka dirinya harus mencontohkannya terlebih dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H