Aku duduk di atas kursi kayu berwarna cokelat tua, terukir kelopak melati pada setiap sudutnya. Ujung kelopaknya runcing, kemerahan dan semakin pekat dari hari ke hari. Tidak ada yang mempertanyakan itu. Lagi pula, aku selalu sendiri. Kecuali malam yang diam-diam bertamu menawarkan sepi.
Aku tidak semenyedihkan itu. Aku baik-baik saja. Mencoba baik-baik saja --setidaknya sampai aku bisa meyakinkan diriku sendiri.
Kulihat rembulan kemerahan dari sela-sela jemariku. Dan anjing-anjing itu tak menggonggong lagi. Mereka telah kurang ajar. Menggigitku tiga kali. Kusobek saja mulut anjing-anjing itu sampai mati.
Aku kembali duduk di atas kursi kayu berwarna cokelat tua. Membiarkan kelopak melati yang terukir pada setiap sudutnya menyesap sisa darah. Agar pedihku terhisap.
Berlama-lama aku menatap sekumpulan embun, sebelum tiap tetesnya bersembunyi di sela-sela jendela. Kau tahu? Setetes kenang tentangmu meramu tuba dalam darahku. Mencintai kamu, meracuni aku.
Dan aku benci suara malam, membuat isi kepalaku semakin berisik. Rasanya ingin kupecahkan, kucabut otak, memotongnya tipis-tipis, memasukkannya dalam kuali, merebusnya bersama darah anjing-anjing keparat itu, kemudian memakan ingatan-ingatan tentang kamu.
"Kau melakukannya lagi?"
Tatap resah adikku melihat tumpukan anjing yang sebagian membusuk. Sisanya tak utuh lagi. Kucabik-cabik.
"Sampai cukup melunasi luka-luka," jawabku.
Sayangnya, luka-luka itu terus berkecambah. Tak habis-habis. Sampai tak sanggup lagi menangis. Ceruk di sudut mataku mengering seiring kepergianmu yang diam-diam.
"Jangan hanya duduk di sana, kau seperti sajak yang buruk."
Dia benar. Aku adalah sajak yang buruk. Penuh kata-kata kutuk.
Aku telah sampai di titik kesal. Meninggalkan rumah, menemui diriku yang lain --meringkuk di balik batu karang, tersedu-sedu. Sedang kupelajari hatinya, keinginannya, agar terbebas jiwanya.
Kuhirup dalam-dalam aroma laut, menyesakkan dada. Kudengar suara ombak, serupa isak tangis. Pantas saja dia selalu tersedu-sedu. Laut pulang ke tepian membawa luka-luka baru.
"Sebenarnya kau ingin apa?"
Tak ada jawab selain tangis yang menjadi-jadi.
Tiba-tiba dia beranjak, menarik tanganku. Berjalan cepat sekali, terburu-buru. Berhenti di atas bebatuan. Dan laut semakin jauh. Nyanyian kepedihan tak lagi terdengar.
Kemudian beradu kisah patah hati, tentang lelaki yang tak tahu diri. Mungkin aku keliru, menggenggamnya terlalu erat. Sebaiknya kulepas, agar jiwa-jiwa yang menangis bertemu akhir.
Setelah Desember ini selesai, kau boleh tak mencintaiku lagi.
Dan dia yang tersedu-sedu itu merasuk. Mataku basah. Aku menangis. Ada sakit luar biasa di dalam dada. Belum pernah kurasakan patah seperti ini.
Kuserakkan batu-batu. Kugali. Makin dalam. Dan kudapati wajahmu di sana.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H