"Jangan hanya duduk di sana, kau seperti sajak yang buruk."
Dia benar. Aku adalah sajak yang buruk. Penuh kata-kata kutuk.
Aku telah sampai di titik kesal. Meninggalkan rumah, menemui diriku yang lain --meringkuk di balik batu karang, tersedu-sedu. Sedang kupelajari hatinya, keinginannya, agar terbebas jiwanya.
Kuhirup dalam-dalam aroma laut, menyesakkan dada. Kudengar suara ombak, serupa isak tangis. Pantas saja dia selalu tersedu-sedu. Laut pulang ke tepian membawa luka-luka baru.
"Sebenarnya kau ingin apa?"
Tak ada jawab selain tangis yang menjadi-jadi.
Tiba-tiba dia beranjak, menarik tanganku. Berjalan cepat sekali, terburu-buru. Berhenti di atas bebatuan. Dan laut semakin jauh. Nyanyian kepedihan tak lagi terdengar.
Kemudian beradu kisah patah hati, tentang lelaki yang tak tahu diri. Mungkin aku keliru, menggenggamnya terlalu erat. Sebaiknya kulepas, agar jiwa-jiwa yang menangis bertemu akhir.
Setelah Desember ini selesai, kau boleh tak mencintaiku lagi.
Dan dia yang tersedu-sedu itu merasuk. Mataku basah. Aku menangis. Ada sakit luar biasa di dalam dada. Belum pernah kurasakan patah seperti ini.
Kuserakkan batu-batu. Kugali. Makin dalam. Dan kudapati wajahmu di sana.