"Peluklah dia, sayang. Balas setiap cumbunya. Cintailah dia untukku."
Wanita itu mengikat rambut anak gadisnya, mengepangnya jadi dua. Disematnya beberapa kuntum bunga, menyerupai mahkota.
"Kau cantik sekali, pria itu pasti semakin tergila-gila padamu."
Tapi, aku tak ingin, Bu. Berkali-kali penolakan itu menggedor pintu hatinya, memanjat kerongkongan, lalu berlarian di atas lidahnya. Berkali-kali pula gagal melompati bibirnya. Sementara kabut menyelimuti matanya, meluruhkan sesak yang sedari tadi bergejolak dalam dadanya.
Plak!
"Sudah berapa kali Ibu katakan padamu, jangan menangis!"
Plak!
"Jangan lemah!"
Aluna, gadis yang namanya pernah mengisi larik-larik puisi, meringkuk di sudut kamar di bawah jendela yang terbuka. Barangkali ada kupu-kupu yang hinggap di pipinya, meminum air matanya.
Aku bukan boneka Ibu. Â Aku berhak mencintai laki-lakiku sendiri, bukan laki-laki Ibu. Aluna meratap, memukul-mukul hampir sekujur tubuhnya. Aku jijik pada diriku sendiri.
Ping!
Kekasihku! Senyumnya merekah. Aluna meraih ponselnya.
Kau adalah seekor kupu-kupu, Aluna. Terbanglah, tinggalkan rumah Ibu.
Aluna yakin kekasihnya menjelma kata-kata yang setiap malam menyelimutinya dengan puisi yang setiap lariknya diberkati para dewa.
Aku adalah seekor kupu-kupu. Aku adalah seekor kupu-kupu. Aluna merapal.
Brak!
"Aluna cepat ganti pakaianmu!"
Aluna terkesiap. Ia kembali merapatkan tubuhnya pada dinding kamar, tepat di bawah jendela yang terbuka. Perlahan tubuhnya menjauh, meninggalkan rumah Ibu.
--bersambung---
Cerita Selanjutnya:
- DesoL -- Cintai Dia untukku
- Lilik Fatimah Azzahra -- Kupu-kupu di Sudut Kota
- Megaskp -- Aku Aluna, Bukan Pembunuh!
- Putri Apriani -- Malam yang Tak Terlupakan
- Pical Efron -- Lelaki dari Masa Lalu
- Tutut Setyorinie -- Dendam yang Belum Usai
Mim Yudiarto -- Kupu-kupu Bersayap Belati(menyambung Kupu-kupu di Sudut Kota)