Tak seharusnya aku membawamu dalam lingkar sengsara. Pun sesal tak membuahkan apa-apa. Aku terlalu sombong dengan menjanjikan banyak hal di kota yang hingga saat ini belum kau cicipi --mungkin takkan pernah. Setiap malam, di rumah kontrakan berdinding bambu, kau terus meminum bualan-bualan lelakimu. Kau begitu sabar mengais impian kosong yang mengantar tidurmu sembari memeluk angan-angan.
Pernah ada yang mengataimu wanita seribu petaka, cantik, beranak lima dengan tubuh kurus dimakan derita. Mereka benar, akulah deritamu. Aku yang membuatmu hampir beranak di jalanan. Belum lagi ketika beras di rumah habis, kau rela menukar beberapa bajumu dengan seliter beras, memasaknya menjadi bubur bercampur potongan ikan asin, agar cukup katamu.
Kau tentu masih ingat dengan juragan tembakau yang memintamu menjadi istri keempatnya. Aku sudah memikirkannya matang-matang, sematang mangga yang kau petik di halaman belakang. Akan lebih baik jika kau tinggal di rumahnya, tubuhmu akan terawat, lebih berisi dan anak-anak tidak kekurangan gizi. Bukannya mengangguk, kau malah menamparku berkali-kali.
"Laki-laki bodoh! Bodoh! Bodoh!"
Aku memang laki-laki bodoh, bahkan lebih bodoh dari yang kau teriakkan.
Saat perjalanan pulang, Bang Somad yang biasa duduk di pos ronda menawariku berjudi. Katanya, penghasilanku bisa berlipat dalam sekejap.
"Jika kalah, kita makan apa? Menjilati bekas uang dalam kantongmu?"
Kau benar. Jika kalah, kita makan apa? Tapi kau tak pernah tahu bahwa aku benar-benar menginginkan uang itu. Selain membeli beras dan lauk pauk, sisanya bisa untukmu berhias. Lihat dirimu, pipimu kusam, rambutmu jarang tersisir, bajumu sobek sana-sini. Setidaknya, aku ingin membuatmu dan anak-anak bahagia.
Aku tahu, kau pasti cemas menunggu kepulanganku. Aku menemui Bang Somad. Menantangnya. Mempertaruhkan semua yang kupunya.
Makin larut, kantong menipis dan aku terus dihantui wajahmu. Mas, kita makan apa?
"Kau menipuku! Kau bilang uangku bisa berlipat ganda!"
"Kau hanya kurang lihai. Cobalah sekali lagi."
Bang Somad tertawa, menginjak amarah yang bergemuruh di dada.
Kuambil parang di bawah meja dan mengayun tepat pada lehernya. Tak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Bang Somad mati dengan leher nyaris putus. Aku tahu, aku telah melakukan kesalahan besar. Kuambil minyak tanah, kusiram tubuhya, kusulutkan api. Kulihat beberapa bagian kulitnya mulai melepuh, sebelum nyalanya merambati kaki meja. Api semakin besar, hampir memakan sebagian rumah. Aku bergegas keluar, tak lupa kusapu uangnya. Mujur, rumah Bang Somad jauh dari tetangga, tak seorang pun tahu ulah amarahku kecuali sinar rembulan yang menangkap basah tanganku bersimbah darah. Warga pun menganggapnya sebagai musibah.
Ya, akulah musibah.
Mentari pagi mengantarku pulang dengan beberapa bungkus ayam goreng. Kau --yang mungkin sedari malam menungguku di depan pintu-- memelukku sembari melepas cemas yang tersembunyi di balik air matamu. Mulutmu nyerocos melempar tanya. Kau percaya ketika kukatakan melembur untuk memilah sampah sisa hajatan di kampung sebelah.
"Mas, ini ayam goreng?"
Aku mengangguk, menepis gelisah yang sedari tadi membuntutiku pulang. Setidaknya, melihat anak-anak makan dengan lahap, membuatku sedikit terlindungi dari rasa bersalah.
"Semalam seseorang mencarimu. Ia menunggumu lama sekali. Saat ayam hampir berkokok, ia pamit pergi."
"Bukankah uang kontrakan sudah kita bayar minggu lalu?"
"Jangan cemaskan itu, Mas. Kali ini lain perkara. Ia datang menangih hutang."
"Siapa? Aku tidak sedang berhutang pada siapapun."
"Bang Somad. Entah apa yang akan ia tagihkan padamu, Mas."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H