"Kau hanya kurang lihai. Cobalah sekali lagi."
Bang Somad tertawa, menginjak amarah yang bergemuruh di dada.
Kuambil parang di bawah meja dan mengayun tepat pada lehernya. Tak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Bang Somad mati dengan leher nyaris putus. Aku tahu, aku telah melakukan kesalahan besar. Kuambil minyak tanah, kusiram tubuhya, kusulutkan api. Kulihat beberapa bagian kulitnya mulai melepuh, sebelum nyalanya merambati kaki meja. Api semakin besar, hampir memakan sebagian rumah. Aku bergegas keluar, tak lupa kusapu uangnya. Mujur, rumah Bang Somad jauh dari tetangga, tak seorang pun tahu ulah amarahku kecuali sinar rembulan yang menangkap basah tanganku bersimbah darah. Warga pun menganggapnya sebagai musibah.
Ya, akulah musibah.
Mentari pagi mengantarku pulang dengan beberapa bungkus ayam goreng. Kau --yang mungkin sedari malam menungguku di depan pintu-- memelukku sembari melepas cemas yang tersembunyi di balik air matamu. Mulutmu nyerocos melempar tanya. Kau percaya ketika kukatakan melembur untuk memilah sampah sisa hajatan di kampung sebelah.
"Mas, ini ayam goreng?"
Aku mengangguk, menepis gelisah yang sedari tadi membuntutiku pulang. Setidaknya, melihat anak-anak makan dengan lahap, membuatku sedikit terlindungi dari rasa bersalah.
"Semalam seseorang mencarimu. Ia menunggumu lama sekali. Saat ayam hampir berkokok, ia pamit pergi."
"Bukankah uang kontrakan sudah kita bayar minggu lalu?"
"Jangan cemaskan itu, Mas. Kali ini lain perkara. Ia datang menangih hutang."
"Siapa? Aku tidak sedang berhutang pada siapapun."