“Apa yang kau pikirkan sebelum membunuh?”
“Kematian.”
“Dan kau masih lakukan itu?”
“Tak ada pilihan, selain kematian itu sendiri.”
Laki-laki itu menurunkan pistolnya. Dahiku basah oleh keringat. Dan seharusnya aku sudah mati.
“Kau tak menekan pelatuknya?”
“Aku sudah berusaha.”
“Dan kau gagal?”
“Jika kau tak lari, aku akan benar-benar melobangi dahimu!”
Aku meraih tas, memungut beberapa barang yang kuanggap penting yang berserakan. Aku berlari tanpa alas kaki. Membawa pergi kehidupan yang hendak melayang sia-sia. Di ujung jalan, lariku terhenti. Iba bergelayut di dada. Aku kembali menyusuri lorong itu.
Di sana, laki-laki itu masih terduduk dengan pistolnya. Ia menangis. Meratapi sesuatu yang mungkin lebih mengerikan dari kematian itu sendiri.