Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hilang

27 Januari 2017   00:03 Diperbarui: 27 Januari 2017   00:13 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wanita itu menutup pori-pori tubuhnya, membenamkannya dalam derita. Air matanya membasahi kaki Tuhan. Telunjuknya mengetuk-ngetuk pintu neraka, seluruh malaikat berhenti bersorak. Ujung-ujung rambutnya yang semula dipenuhi kuntum-kuntum mawar, mulai layu. Berjatuhan. Seperti hati yang dibuang ke selokan, maupun cinta yang diinjak-injak kawanan babi hutan.

“Aku ingin mati.”

Ia menghisap kembali rokoknya.

“Kau pikir bisa semudah itu? Mati dengan cara menghabiskan seluruh rokokku?”

Melempar pandang ke awan-awan membuatnya sedikit tenang. Semula kakinya gemetar, wajahnya pucat seperti seseorang yang habis tertidur di atas salju. Rambutnya tak tersisir. Entah kapan terakhir kali ia memakaikan shampo pada kepalanya.

“Kau pernah merasakan kehilangan?”

“Mungkin tapi setelah kau benar-benar mati nantinya.”

“Aku serius.”

“Aku juga.”

Ia mematikan rokoknya dengan menekan-nekannya di atas sekumpulan semut.

“Seperti ini. Ya, seperti ini.”

“Hei, hentikan itu! Setidaknya pikirkan sesuatu yang membuatmu sedikit bahagia.”

Ia melepas ikat rambutnya, bangkit dari duduknya lalu menarik laki-laki itu. Tak ada kata-kata, sepertinya telah sepaham kemudian menjadi seranjang. Semut-semut telah mati, tak ada lagi yang mengamat-amati. Mereka bisa bertindak sesuka hati tanpa berhati-hati dengan menggunakan hati.

“Kau ingin aku bahagia?”

“Jika hal itu bisa membuatmu menjadi lebih baik kenapa tidak?”

Dinding-dinding biru melihat cumbu. Tirai abu-abu saksikan adu peluk. Kursi-kursi kayu menatap yang lebih dari itu. Tak disangka wanita itu tertawa, memecah kebekuan di kamar nomor empat tujuh.

“Aku sudah lama tak tertawa. Aku hampir lupa rasanya bahagia. Dan aku tahu harus bagaimana.”

Wanita itu terus memeluk kekasihnya walau hanya sekadar bayang-bayang. Dicabut rambutnya satu per satu, agar kuncup-kuncup kenang tak kembali bermekaran di atas kepalanya. Ia membuatnya selesai, pun kehilangan yang ia miliki setelah tubuhnya melayang dari lantai sepuluh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun