Aku harus pergi. Waktuku tak banyak. Kamu mungkin tak akan mengerti, juga tak tahu kemana akan mencari jawab. Seperti yang kamu tahu, aku yatim piatu. Aku dibuang dari panti sewaktu masih bayi. Baru kutahu bahwa aku pembawa petaka. Sebagian bangunan panti terbakar sejak aku dibawa masuk oleh salah satu pengasuh di sana. Belum genap seminggu, kepala panti mati bunuh diri. Kemudian mereka memutuskan untuk mengembalikanku ke jalanan. Selama dua puluh tahun, aku tumbuh dengan tidak menjadi siapa-siapa. Mungkin saat kamu menemukan surat ini, aku sudah mati.
Embus angin sore jelajahi pori-pori. Semakin lama semakin dingin. Kemudian senja berpamit pulang. Bintang-bintang menghimpit rembulan. Ini malam, dan aku tahu itu. Gelap makin gulita. Seolah aku seorang buta. Yang tak mampu melihat jiwa, hanya menatap tombak merajam asa milik dermaga.
“Rindu ini harus lekas kubawa pulang.”
Aku mulai melipat udara, memasukkannya pada kantong plastik.
“Banyak orang terpisah di tempat ini. Rindu itu berceceran. Serupa virus yang mungkin akan mewabah dan melumpuhkan kota.”
Kusimpan kantong plastik berisi rindu di balik mantel abu-abu. Rindu itu bergerak-gerak, seperti menendangi perutku. Aku mendekapnya semakin erat, ingin membuatnya tenang sesaat. Anak-anak kecil menertawakanku dari balik pagar. Salah satu di antara mereka kehilangan gigi bagian depannya. Ingin sekali kutumpahkan amarah pada mereka, namun itu tak pernah terjadi.
“Anak-anak yang menyebalkan.”
Aku juga pernah menjadi anak-anak seperti mereka, hanya saja aku tak tertawa seriang itu. Entah apa yang mereka tertawakan dariku. Apa aku ini menyerupai badut?
Lekaslah pulang! Seolah angin serukan itu pada telingaku.
Kutapaki anak tangga. Membelah jalan tikus. Di sanalah wanita itu mewariskan rumah untukku. Ketika masih kanak-kanak, rumah ini cukup luas, bahkan tubuhku mampu kusembunyikan di balik ranjang. Kini, rumah ini lebih mirip ruangan kamar mandi dekat sungai –sempit.
Aku duduk menghadap meja. Mengeluarkan kantong plastik. Sekumpulan rindu itu kuletakkan di atas sana. Warnanya masih sejernih saat kubawa pulang dari dermaga. Aku membuka dan membiarkannya memenuhi rumahku. Aku menghirupnya dalam-dalam, menyimpannya lebih lama pada rongga dada.