***
Kupandangi bangunan tua yang masih kokoh berdiri di hadapanku. Tak terasa sepuluh tahun aku menari bersamanya. Di sini aku menjadi bodoh, mirip buah yang belum masak, yang dipaksa tersaji di atas meja. Pernah aku memerankan Giselle dan di sana mimpiku terpatahkan untuk pertama kali.
Joe yang tak bisa menari, yang saat itu sebagai penonton, mendatangiku yang terisak di balik panggung.
“Sebuah awal yang baik, Giselle.”
“Aku tak pantas menjadi seorang balerina.”
“Tapi balet itu sendiri yang telah memilihmu.”
Sampai saat ini aku masih mengingat kata-kata itu. Balet yang telah memilihku dan aku memilihmu, Joe.
Aku menari dan terus menari. Menyatu dengan angin, menjadi ringan seperti kapas. Aku begitu menikmati setiap gerakan bahkan dalam rupa wilis yang buta dan jahat sekalipun. Kurasakan roh Odile merasuk dan membusukkan cinta yang ada. Membusukkan kenangan tentang Joe, juga janjinya yang membeku tertimbun salju.
***
“Bibi, bisakah kita mulai menari?”
Anna memegang tanganku. Gadis kecil bermata biru dengan rambut sepanjang bahu, mengajakku menari. Sudah dua bulan Anna menginjakkan kaki di tempat ini dan memasrahkan tubuhnya padaku. Dasar-dasar menari balet telah kuturunkan padanya dan dia menyerapnya dengan sangat baik.