Gerbong kereta telah kosong. Tak ada seorang pun yang tertinggal. Bagaimana bisa ada yang tertinggal jika sedari awal hanya aku yang menghuninya?
Aku mengangkat tubuhku. Ada rasa nyeri yang tak tertahankan. Aku merabanya dan kulihat sebilah pisau tertancap pada perutku.
"Hallo, Kakak. Sebentar lagi Kakak akan menghilang seperti Ibu. Dan aku akan berhenti berhitung. Hahaha."
Anak perempuan itu tertawa. Mulutnya terbuka lebar. Sangat lebar. Lebih lebar lagi. Yang memakan tubuhnya sendiri, kemudian tubuhku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H