[caption caption="pic: gregburdine.com"][/caption]Aku menemukan potongan jari kaki untuk kedua kalinya. Yang pertama kondisinya masih segar, seperti baru terputus dengan berlumuran darah. Sedangkan pada malam berikutnya bentuknya menyerupai kelingking, membusuk dan mengeluarkan bau yang membuatku hampir muntah.
Kedua potongan jari kaki itu kudapatkan secara tidak sengaja. Ketika semua terlelap, tetiba aku ingin buang air kecil. Di rumah ini tidak ada kamar mandi, sehingga harus pergi ke sungai untuk melakukannya. Kata ibu, tak baik seorang anak kecil keluar malam-malam sendirian, maka kuputuskan untuk berjongkok di dekat sumur ibu.
Aku masih ingat bagaimana ibu melarangku untuk mendekati sumur itu. Ibu rela memukulku jika aku bermain terlalu dekat dengan sumur yang dikatanya keramat bahkan boneka kesayangku telah ibu buang ke dalamnya. Dapat kudengar teriakan minta tolong yang mungkin berasal dari mulut boneka kesayanganku.
“Kau ini laki-laki, tak pantas bermain boneka seperti itu!”
Setelah membuang boneka dan menarik salah satu telingaku, ibu melanjutkan menjemur baju. Hari masih pagi, namun wajah ibu membuatku ingin segera tidur. Mengerikan. Apakah semua ibu akan memiliki wajah seperti itu ketika sedang marah kepada anak-anaknya?
“Mengapa anak laki-laki tak boleh bermain boneka? Apakah ibu takut aku menjadi banci?”
“Tahu apa kau tentang banci? Anak kecil sepertimu lebih baik bermain kelereng.”
“Aku pernah melihat foto yang terselip di sela meja rias di kamar ibu. Seseorang dengan betak tebal dengan gincu merah tua namun berkumis.”
PLAK!
“Kau lancang sekali!”
Ibu memukul pipiku. Rasanya lebih panas dari sengatan matahari. Dan biasanya aku akan mengadu kepada bonekaku itu. Boneka yang kupanggil ibu. Ibu kedua di dalam rumah ini.