Aku suka. Aku suka. Aku suka. Sanggup kukatakan hingga seribu bahkan sejuta kali bahwa aku suka. Benar-benar suka. Aku menyukaimu, Mas.
“Hujan membuatku tak bisa tunjukkan bulan padamu, padahal di sini adalah tempat yang paling tepat untuk menikmati bulan yang sedang purnama. Begitu bulat seperti wajahmu.”
Kau tertawa, seakan telah melepas semua kelelahan yang membelenggumu seharian di tempat kerja. Gigimu berjajar rapi, begitu putih seperti pagar yang baru saja di cat. Aku tahu, kau tak suka merokok.
Aku tak sedang mencari bulan di atas sana, Mas. Sudah cukup bagiku dengan bulan yang terpancar dari matamu itu. Bulan yang bisa aku lihat begitu dekatnya tanpa perlu mendongak ke langit gelap.
“Besok jika hujan bosan turun, aku akan mengajakmu melihat bulan. Apa kau mau?”
“Aku mau!”
Aku mau. Aku mau. Aku mau. Sanggup kukatakan hingga seribu bahkan sejuta kali bahwa aku mau. Benar-benar mau. Aku mau berdua denganmu, Mas.
“Hahaha… kau semangat sekali.”
Kembali kau membuat rambutku berantakan. Namun aku tak marah, Mas. Sebab aku kerap merindukan jari-jarimu yang dua kali lebih besar dari jariku itu, menyentuh rambutku.
“Mari kita pulang.”
Hujan mereda, kau menggandeng tanganku, mengajak pulang.