[caption caption="pic: www.pressherald.com"][/caption]
Semalam, aku melihat bulan inggap di matamu. Dalam rintik hujan yang buat tubuhku mengigil, bulan pada matamu pancarkan kehangatan yang menggoda. Aku pernah duduk dekat dengan perapian, namun tak sehangat bulan pada matamu itu.
Mas, aku memanggilmu dan kau hanya tersenyum memandangku. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirmu, pun bibirku. Aku dan kau hanya beradu pandang, membelah keheningan malam. Aku telah persiapkan keranjang untuk mengumpulkan cahaya yang berserakan pada kedua matamu.
Hujan basahi jemariku. Aku membiarkan bulir-bulirnya pecah di atas telapak tanganku, kemudian menepuk-nepukkannya pada kedua pipiku. Dingin, dan kau hanya tertawa kecil.
Kursi rotan dan meja kayu dalam kedai mungil itu adalah saksi bisu di mana aku begitu menikmati hangatnya bulan dalam matamu. Rasanya, aku ingin membawamu pulang untuk menggantikan perapian di rumah nenek.
Kau tidak akan pulang kan, tanyamu di sela rintik hujan. Tanyamu yang seolah menjadi penjara bagiku untuk menahanku agar bisa berlama-lama duduk di sampingmu. Hanya anggukan kecil yang kuberikan atas tanyamu, dan kau menyambutnya dengan sentuhan di hidungku. Hidungmu mungil, guraumu.
Hatimu mungkin tak pernah menyadari betapa aku begitu mengagumi senyum yang berulang kali kau sodorkan di hadapanku. Mataku begitu rakus merekam semua jejak pada wajahmu, sampai-sampai aku harus membuat kotak kenang baru berlabel namamu.
Sepertinya hujan sengaja mengurung kita di sini, cemasmu sambil menatap jam tangan dengan jarum pendek tepat di angka sepuluh. Ya, aku sangat berterima kasih pada hujan yang sengaja itu.
“Mas, ini hari ketiga kita kehujanan.”
“Kau tidak suka?”
“Aku suka!”