Sampai pada bulan kesembilan, wanita dengan perut besar tak berhenti kunjungi dermaga. Masih dengan rantang isi gulai ikan, ia duduki dermaga hingga berjumpa senja. Wajahnya layu. Terlihat gurat lelah pada sebuah tunggu.
“Mas, kapan kau kembali?”
Menagis. Wanita itu menangis. Air matanya jatuh melewati celah-celah kayu milik dermaga kemudian menyatu bersama air asin.
“Telah kukabarkan rindu melalui lautan, semoga kau dengar dan lekas pulang, sebab aku hendak melahirkan.”
***
Pada senja berikutnya, terlahir anak laki-laki pada dermaga. Seorang nelayan menemukannya, kemudian memanggil kawannya untuk bersama-sama menguburkan wanita yang melahirkan dengan sendirinya.
Mata-mata nelayan iba pada anak laki-laki yang terlahir tanpa sempat tersusui oleh ibunya. Salah satu dari mereka memutuskan untuk membesarkannya. Dinamainya anak laki-laki itu Dermaga, yang adalah aku.
Aku Dermaga di dermaga. Teruskan tunggu ibu sampai pada matinya. Menunggu laki-laki yang pantaskah kupanggil ayah?
Padamu dermaga, kuputuskan sesuatu. Mengakhiri rindu ibu. Tak akan kuukirkan kembali rindu pilu itu pada kayu-kayumu, mungkin kau telah lelah dengarkan keluh. Sampaikan pada ayah jika ia ingat pulang nanti: jangan kembali pada Dermaga!
Kisahku telah selesai bersama langkah kaki yang jauhi dermaga.
-oOo-