Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Semacam Ciuman Penghabisan

30 September 2015   10:12 Diperbarui: 30 September 2015   12:29 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="gambar: www.8020fashionsblog.com"][/caption]

Matahari enggan tersenyum siang ini. Basahkan kembali baju-baju yang baru saja terjemur. Terlambat. Hujan jatuh saat aku hendak beranjak. Berlari pun akan percuma. Jangan salahkan hujan, sebab turunnya adalah jawaban doa tanah-tanah gersang.

Aku sedikit lega. Kali ini hujan samarkanku dari malu. Butir-butir air mata yang tertahankan, jatuh juga. Tangis selalu punya alasan yang mungkin tak seorangpun mau dengar. Aku tak menuntut telinga untuk menelannya. Cukup aku dan hujan saja yang rasa.

Setibaku di sini, hampa terasa. Sesuatu telah tercabut dari dalam jiwa. Mungkin tertinggal di stasiun kereta. Aku harap, tak seorangpun menemukannya. Tidak juga kau! Lebih baik terinjak atau terlindas roda kereta.

Sejujurnya, aku belum rela. Tentang sebuah malam di mana kita ciptakan rasa bersama. Malam di mana kita telurkan cinta, lalu mengeraminya di balik peluk hangat pemberianmu. Kini yang tersisa hanyalah rindu.

Kenang asyik mengaduk-aduk cangkir rasa, buatku gembira sesaat sebelum pada akhirnya terjatuh pada kesedihan yang sangat. Kenang memang keparat! Buat jiwaku sekarat dan rindukupun mengarat!

***

“Keretaku pukul lima sore.”

“Aku akan tiba di sana setengah jam lebih awal.”

“Apa yang kau rasa?”

“Bahagia.”

“Meskipun kita belum lakukan pertemuan sebelumnya?”

“Tentu saja, dan ini akan jadi awal temu yang indah.”

Kuputuskan percakapan. Bangku depan terisi sudah. Dua orang. Tampaknya sepasang kekasih, terlihat dari cara mereka yang saling kaitkan jari. Sungguh aku iri, padahal tak lama lagi aku akan bisa lakukan itu. Kaitkan jari denganmu.

Solo. Berikanku waktu untuk merenung, sementara kereta naik-turunkan rindu. Manusia-manusia yang rindu akan keluarga, pekerjaan dan juga bahagia. Aku bisa melihatnya dari gurat-gurat yang terlukis pada wajahnya.

Roda kereta kembali berderit. Dan telah bersiap tempuh stasiun terakhir. Tugu. Tetiba aku lupa rupa. Rupamu yang telah puluhan banyaknya tersimpan pada telepon genggam milikku. Jatung berdegup. Aku gugup. Tak mampu lagi pikirkan apa yang akan terjadi saat aku menatapmu.

Rasanya, aku mau pulang saja. Tapi terlambat sudah. Aku harus bersiap untuk menemuimu. Lebih baik kubayangkan yang terburuk hingga tak banyak telan kecewa saat apa yang nyata tak sesuai harap.

Aku telah sampai. Stasiun tugu. Aku tak mau buru-buru. Kuputuskan rela mengantri dengan nomor urut sepuluh hanya untuk poleskan bedak dan pertebal lipstik dalam toilet. Aku tak pernah peduli rupa, namun kali ini berbeda.

“Kau di mana?”

“Di pintu keluar. Berharap sosokmu segera kutemukan.”

“Lima menit lagi akan kau dapati diriku.”

Lagi, telepon berdering. Selalu tak mampu acuhkan. Rasa ingin tahu dahului malu. Ataukah cinta memang tak pernah punya malu? Aku tak mau hakimi, sebab belum ingin jatuhkan hukum padanya.

Sepertinya aku sudah siap pada sebuah perjumpaan. Berulang kali cermin katakan: Kau cantik. Aku setuju. Itu artinya bahwa aku masih gadis, bukan perjaka.

Aku rasakan anak tangga satu-satu. Menarik napas dalam-dalam sebelum aku keluarkan bersama bahagia. Hati dan pikirku tengah berkompromi, mengatur apa yang hendak bibir perkatakan kelak.

Berjalan di belakang pria tambun buatku mudah temukanmu tanpa kau sadari keberadaanku. Kau tampak kebingungan sebab telah begitu lama tunggumu tanpa hasil. Kuputuskan untuk akhiri pencarianmu.

“Mencariku?”

“Tidak lagi.”

Tawa terlepas. Itulah yang pertama kita lakukan. Sesekali kucuri senyummu lalu buru-buru menyimpannya dalam kotak kenang. Aku akan membukanya kala rindu todongkan rasa tuk bertemu. Kita lebih banyak terdiam untuk saling menyerap raut muka sebelum putuskan saling dekap.

“Sekarang malam minggu bukan? Kemana kau ingin habiskan waktumu denganku?”

“Kedatanganku ke tempat ini bukan untuk bicarakan kemana akan kita cari bahagia. Sebab, bisa berada di sampingmu adalah bahagia yang mahal.”

“Habiskan saja waktu kita dalam peluk malam ini.”

Kita telah menjadi paham bukan? Sebuah perjumpaan yang sangat sayang bila dipergunakan untuk hal yang percuma. Lebih baik kita pelajari apa arti cinta yang sesungguhnya dari pada beku dalam kata.

***

Aku telah berada di tempat ini. Berdua denganmu. Tubuhku mendidih kala kau sentuhkan bibirmu pada kening, selanjunya terjun bebas ke bawah untuk melumat lidahku. Sungguh tak percaya, di mana aku telah lakukan hal gila denganmu.

Semacam ciuman penghabisan, di mana kau dan aku bertukar liur di antara cumbu-cumbu liar. Aku tak bisa mengakhirinya, begitu juga denganmu. Kita telah melakukannya hingga hampir pagi. Bagi kita, lepaskan lumatan adalah dosa. Lanjutkan saja, saling menggigit hingga rindu tak lagi terasa.

“Kau tak bosan, Mas?”

“Adakah cinta berkawan dengan bosan?”

“Sungguhkah kau cintaiku?”

“Apa aku harus mengawinimu untuk tunjukkan itu?”

Lebih baik tak kuteruskan jawab, sebab akan percuma. Fokusmu hanya pada peluk dan cumbu. Kau begitu sibuk hangatkan diriku dengan sejuta peluk yang telah lama kau janjikan. Aku menyadari bahwa kau ingin lunasi janji.

Cumbumu adalah kenikmatan yang pahit. Dan relaku kau jadikan pahit. Lakukanlah hingga hampir pagi. Buat malam enggan dengar desah pada kamar tengah. Jangan berhenti hingga siang berani tampakkan diri.

Jemarimu senang berlama-lama mainkan ujung rambut sebelum kau pilih akhiri jejak-jejak cumbu pada keningku. Harus kuakui bahwa kau tak hanya lumat habis bibirku namun juga hatiku.

***

Kita telah tiba pada sebuah perpisahan setelah semalam lelah mainkan desah. Sudah kukatakan sebelumnya padamu bahwa aku begitu benci sebuah pertemuan sebab akan lahirkan kepedihan yang menyakitkan.

Aku lihat, kau sibuk palingkan sedihmu pada cerita lucu dan tawa palsu. Kau coba hadirkan ceria seperti awal pertama jumpa. Perpisahan telah di depan mata, akuilah itu. Terimalah dengan hati yang tanpa berontak dan mata berkaca.

“Mas, keretaku sebentar lagi. Aku harus segera naik atau akan tertinggal.”

“Naiklah. Aku akan pergi bila ekor kereta tak lagi tampak.”

“Berjanjilah untuk lepaskan sedih.”

“Pasti.”

Aku di kereta. Tugu adalah pembatas kisah kasih yang terajut semalam. Sementara orang-orang sibuk lalu-lalang, segera kusembunyikan air mata yang tak tertahankan. Aku benci perpisahan!

Sudah saatnya aku pergi dan yang telah terjadi harus diakhiri. Buah-buah kenikmatan yang pahit harus dipetik untuk kemudian dihanguskan. Dihilangkan hingga tak berbekas. Biarlah rindu tercecer di sepanjang rel kereta sebab aku takkan pernah memungutnya kembali.

Semua tentangmu harus terhapuskan segera. Sebuah perpisahan yang akan akhiri segalanya. Bila sanggup kucuri masa lalu, aku memilih untuk tak mengenalmu dan kemudian memulangkan rindu hingga aku tak perlu menjemputnya seperti kemarin.

Kau datang tak terduga, seperti pencuri yang tak pernah permisi. Hianatnya, aku telah cicipi manis cinta dan juga peluk cumbumu. Aku malu pada kotak kenang, sebab aku telah menyekatnya jadi dua dan mengisinya dengan kisah yang berbeda.

***

Bulan terluka pada tanah basah. Tak lama lagi akan membusuk pada cinta yang terkutuk. Hujan turun luruhkan rasa. Derasnya paksaku rela. Sebuah air mata yang jatuh pada nama yang salah. Namamu.

Bila rindu paksaku kembali padamu, akan kubawa serta kematian dan kutikamkan pada jantungmu. Berhentilah bernapas. Berhentilah berdesah. Berhentilah bercumbu. Berhentilah berkata: Aku menginginkanmu.

Aku harus segera lupakan ciuman terakhir di stasiun kereta juga desah pada kamar tengah. Adalah sebuah kesalahan telah biarkan kau gauli hasratku. Pergilah ke neraka yang jangan pernah kembali, sebab aku telah bersuami.

----bersambung----

sebuah cerpen dari puisi Khrisna Pabichara "Semacam Ciuman Penghabisan" | unduh ebook Melankoli Warung Kopi DI SINI

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun