Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Makarios

30 Juli 2015   11:28 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:25 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kesepian banjiri mata ayumu. Senyum getir buatku teriris. Belukar berduri singkirkan riang hatimu. Aku bisa melihatnya. Sorot mata kebencian kau lahirkan untukku. Haruskah aku yang menanggungnya, di mana ini kali pertama kita bertatap muka?

“Maaf, Nona. Mengapa kau menatap benci diriku? Aku hanya ingin membeli sepotong kue di tokomu. Ini tokomu bukan?”

Perempuan itu diam. Aku diacuhkan. Bukankah pembeli itu adalah raja?

“Aku terjebak hujan. Karena tak sanggup menahan lapar, kuputuskan untuk masuk ke toko kuemu. Oh, aku tahu! Kau marah padaku karena pot mawarmu tersenggol olehku? Aku akan menggantinya besok.”

Aku ingin lihat bibirnya sekali lagi, siapa tahu benang-benang halus telah menyulamnya sehingga tak satu katapun ia keluarkan untukku. Sejujurnya, aku benci diperlakukan begini. Apa sebaiknya aku pergi saja? Ah, tidak.

Tanpa melihatku, ia turunkan kue-kue yang belum sempat kubeli dari rak. Ia begitu cepat membersihkannya lalu membawanya ke dapur. Andai kau jadi aku, kau pasti akan mengamuk atau bahkan sudah berada di rumah sedari tadi.

“Kau akan menutup tokomu? Sisakan sepotong kue untuk kubeli. Aku akan membayarnya sepuluh kali lipat jika kau mau.”

“Aku tak butuh uang. Pergilah!”

Apa? Tak butuh uang? Lalu mengapa ia membuka toko? Aneh. Lebih aneh lagi ketika ia berani mengusirku, pembelinya. Sama halnya satu tamparan telah mendarat pada pipiku. Bagus!

“Kau ini perempuan aneh!”

“Lebih aneh lagi dirimu!”

“Kau baru saja mengusirku!”

“Kau memang pantas untuk diusir!”

“Untuk apa kau membuka toko jika tidak untuk menjual kuemu?”

“Aku tidak menjualnya!”

Hahaha… Ini lelucon yang aneh. Apa yang ia katakan tak mampu kucerna dengan akal sehat. Mungkin perempuan itu sedang mabuk. Ya, mabuk oleh kesepiannya. Mana mungkin ia mabuk oleh anggur? Sebab ia hanya penyedia kue, bukan anggur. Itu yang kulihat.

“Kuberikan kue secara gratis bagi para perempuan yang membutuhkannya. Jika tidak, mereka bisa abaikan tempat ini atau menghilangkan memorinya tentang rasa kueku. Biasanya kebahagiaan akan membuat mereka melupakanku.”

“Kue apa yang kau buat?”

“Bukankah kau telah melihatnya? Makarios. Rasanya seperti ketika kau tertawa terbahak.”

“Lantas, mengapa kau tak menghabiskan semua kuemu agar kau bisa bahagia hingga tertawa terbahak?”

“Aku tak bisa melakukannya. Menghabiskannya akan menjadi percuma sebab takkan pernah kembalikan anakku.”

“Anakmu?”

“Anakku telah mati. Mati oleh tangan lelaki. Suamiku mencekiknya, sebelum dokter memvonisnya gila.”

Aku bisa rasakan pahit hatinya. Luka yang tak mungkin bisa disembuhkan dengan ribuan Makarios. Masih tentang sebuah kehilangan, namun kali ini yang tak terikhlaskan.

“Apa yang bisa aku lakukan untukmu?”

“Buat aku menjadi Makarios. Buat aku menjadi bahagia.”

“Caranya?”

“Pergilah.”

-oOo-

gambar

makarios : bahagia (bahasa Yunani)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun