Kesepian banjiri mata ayumu. Senyum getir buatku teriris. Belukar berduri singkirkan riang hatimu. Aku bisa melihatnya. Sorot mata kebencian kau lahirkan untukku. Haruskah aku yang menanggungnya, di mana ini kali pertama kita bertatap muka?
“Maaf, Nona. Mengapa kau menatap benci diriku? Aku hanya ingin membeli sepotong kue di tokomu. Ini tokomu bukan?”
Perempuan itu diam. Aku diacuhkan. Bukankah pembeli itu adalah raja?
“Aku terjebak hujan. Karena tak sanggup menahan lapar, kuputuskan untuk masuk ke toko kuemu. Oh, aku tahu! Kau marah padaku karena pot mawarmu tersenggol olehku? Aku akan menggantinya besok.”
Aku ingin lihat bibirnya sekali lagi, siapa tahu benang-benang halus telah menyulamnya sehingga tak satu katapun ia keluarkan untukku. Sejujurnya, aku benci diperlakukan begini. Apa sebaiknya aku pergi saja? Ah, tidak.
Tanpa melihatku, ia turunkan kue-kue yang belum sempat kubeli dari rak. Ia begitu cepat membersihkannya lalu membawanya ke dapur. Andai kau jadi aku, kau pasti akan mengamuk atau bahkan sudah berada di rumah sedari tadi.
“Kau akan menutup tokomu? Sisakan sepotong kue untuk kubeli. Aku akan membayarnya sepuluh kali lipat jika kau mau.”
“Aku tak butuh uang. Pergilah!”
Apa? Tak butuh uang? Lalu mengapa ia membuka toko? Aneh. Lebih aneh lagi ketika ia berani mengusirku, pembelinya. Sama halnya satu tamparan telah mendarat pada pipiku. Bagus!
“Kau ini perempuan aneh!”