“Makanlah ketupat Nenek, dan Ibu pastikan Adik akan minta sepiring lagi.”
Sama seperti minggu kemarin. Ibu memintaku untuk memakan ketupat Nenek. Aku memang anak penurut, namun tidak untuk perihal yang menyangkut Nenek. Bagiku, Nenek lebih jahat dari wanita tua dengan sapu terbang berwajah keriput. Aku membenci Nenek bukan tanpa alasan.
“Kali ini Ibu tidak akan membiarkan ketupat Nenek basi.”
Rupanya Ibu tak mau kisah ketupat basi terulang kembali. Ketupat berkuah santan dengan potongan ayam di atasnya, terasa lezat ketika aku memakannya lima tahun silam. Ah, sudah lama sekali.
“Aku benci ketupat! Aku benci Nenek!”
Sedikit membentak Ibu, kurasa tak masalah. Hanya sedikit hari ini. Ya, hari ini. Aku lebih memilih ketupat itu basi dari pada menjadi duri dalam tubuhku. Cerita tentang anak durhaka pada ibunya sudah biasa, namun cucu durhaka pada neneknya… mungkin hanya satu-dua. Aku salah satunya.
“Apa yang salah dari ketupat ini?”
“Tidak ada.”
“Karena ketupat ini buatan Nenek?”
“Jika Ibu sudah tahu, jangan tanyakan lagi!”
“Sudah berapa kali Adik membentak Ibu seperti ini?”
“Sebanyak Ibu membicarakan Nenek!”
Ibu menyerah. Ibu memilih meninggalkanku dengan bunga melati yang mulai mengering. Aku rasa, melati ini lelah menjadi saksi pertengkaran aku dengan Ibu. Bisa jadi, tak lama lagi, melati ini mati. Melati saja mengering, apalagi hati Ibu. Ah, sudahlah. Semua karena Nenek!
Aku masih ingat di mana hari-hari itu harus kulalui dengan berat hati. Hari-hari di mana canda-tawa hilang seketika. Lenyap dari rumah ini. Rasa sepi yang memenangkan hati dari puluhan orang yang silih berganti mendatangi rumahku. Aku tak pernah meminta semua ini!
Pahit rasanya ketika melihat Ibu tak sadarkan diri berulang kali. Ibu pingsan. Tangisnya kering, sebab air matanya telah habis terkuras malam itu. Aku hanya bisa meringkuk di atas ranjang. Menyembunyikan tubuh dalam selimut, membuatku bebas meneriakkan duka.
***
Pukul delapan malam lebih lima belas menit.
Aku lapar. Rupanya tiga gelas air putih dan setangkup roti manis saat berbuka tadi tak mampu menyenangkan perutku. Beberapa kali Ibu mengintip kamarku, mungkin takut anaknya pingsan kelaparan. Aku pilih untuk tak makan, sebab menunya ketupat Nenek.
Ibu membuka pintu. Dibawanya sepiring ketupat Nenek dengan kuah santan dan beberapa potong ayam di atasnya. Aku memalingkan muka. Berharap Ibu sadar bahwa aku menolaknya.
“Makanlah…”
Aku diam.
“Ketupat Nenek dibuat dengan penuh cinta untukmu. Lupakan yang lalu.”
Masihkah aku diam? Tidak!
“Aku tidak akan pernah bisa melupakan kejahatan Nenek!”
“Nenekmu bukan penjahat.”
Ibu tak akan pernah mengerti apa yang kurasa. Pahit sekali. Kesepian yang menumpuk selama lima tahun membuatku tak bisa menerima Nenek. Ada kemarahan yang sulit terlontar. Ada kebencian besar yang membuatku terpisah dari Nenek.
“Andai Nenek tak membawanya pergi saat itu, pasti aku masih bisa melihat senyum Kakak.”
“Itu pilihan Tuhan.”
“Bukan! Itu pilihan Nenek!”
“Tuhan sayang Kakakmu…”
“Tuhan memang sayang Kakak! Tuhan mengambil Kakak dari Nenek yang jahat!”
Kalian tahu? Kakakku pergi ke rumah Nenek dengan ceria. Tak pernah kutahu bahwa senyum itu adalah senyum terakhir yang kulihat. Nenek membawanya berlibur ke desa. Dua minggu setelahnya, Kakakku pulang dengan kaku. Tubuhnya dingin membiru. Tangis pecah sebulan tanpa henti. Nenek membiarkan Aedes Aegypti membawa Kakak pergi. Jahat bukan?
“Ikhlaskan. Lebaran tak bisa ditunda. Jangan jadikan lebaran kelima sebagai dosa bagimu. Adik harus tahu, Tuhan tak suka itu. Pilih mana? Memeluk Nenek atau bermandi api neraka?”
Diam.
Aku diam.
Mencerna kalimat Ibu lebih susah dibandingkan rumus matematika kelas lima.
“Aku akan memeluk Nenek.”
-oOo-
Ikuti Event Fiksi Ramadhan Berhadiah || Bergabunglah di Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H