Masihkah aku diam? Tidak!
“Aku tidak akan pernah bisa melupakan kejahatan Nenek!”
“Nenekmu bukan penjahat.”
Ibu tak akan pernah mengerti apa yang kurasa. Pahit sekali. Kesepian yang menumpuk selama lima tahun membuatku tak bisa menerima Nenek. Ada kemarahan yang sulit terlontar. Ada kebencian besar yang membuatku terpisah dari Nenek.
“Andai Nenek tak membawanya pergi saat itu, pasti aku masih bisa melihat senyum Kakak.”
“Itu pilihan Tuhan.”
“Bukan! Itu pilihan Nenek!”
“Tuhan sayang Kakakmu…”
“Tuhan memang sayang Kakak! Tuhan mengambil Kakak dari Nenek yang jahat!”
Kalian tahu? Kakakku pergi ke rumah Nenek dengan ceria. Tak pernah kutahu bahwa senyum itu adalah senyum terakhir yang kulihat. Nenek membawanya berlibur ke desa. Dua minggu setelahnya, Kakakku pulang dengan kaku. Tubuhnya dingin membiru. Tangis pecah sebulan tanpa henti. Nenek membiarkan Aedes Aegypti membawa Kakak pergi. Jahat bukan?
“Ikhlaskan. Lebaran tak bisa ditunda. Jangan jadikan lebaran kelima sebagai dosa bagimu. Adik harus tahu, Tuhan tak suka itu. Pilih mana? Memeluk Nenek atau bermandi api neraka?”