Mohon tunggu...
Desmon Silitonga
Desmon Silitonga Mohon Tunggu... Lainnya - Analis PT Capital Asset Management

Membaca dan menulis adalah caraku untuk merelaksasi diri dan melakukan dialektika.

Selanjutnya

Tutup

Financial

EBA-SP Ritel: Alternatif Investasi Pemberi Cuan

17 Desember 2022   06:43 Diperbarui: 18 Desember 2022   09:48 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: Pixabay.com

Perekonomian dunia pascapandemi dihadapkan pada situasi yang tidak mudah dan sulit diperkirakan. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat di banyak negara, khususnya negara-negara maju yang diikuti dengan inflasi tinggi (stagflasi). Pangkal penyebabnya adalah invasi militer yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina serta kebijakan nol Covid-19 dari China.

Implikasi dari kedua pangkal penyebab tadi adalah melambungnya inflasi di berbagai negara. Bahkan, inflasi tinggi harus dialami oleh negara-negara maju. Sebuah keadaan yang tidak pernah terjadi dalam empat decade terakhir. Sampai dengan November 2022, inflasi di Amerika Serikat (AS) di level 7.1% (yoy), Eropa, di level 10% (yoy), Inggris di level 10.7% (yoy), dan Jepang di level 3.7% (yoy). Kenaikan inflasi juga terjadi di negara-nega berkembang, seperti India di level 5.88% (yoy), Brasil di level 5.9% (yoy), Indonesia di level 5.4% (yoy), Malaysia di level 4% (yoy), dan Thailand di level 5.5% (yoy).

Untuk meredam inflasi yang melambung ini, maka bank sentral di negara-negara maju harus menaikkan suku bunga secara agresif. Bank Sentral AS (The Fed), misalnya, telah menaikkan suku bunga hingga ke level 4.5%-5% dalam 9 bulan terakhir dan masih berlanjut hingga tahun 2023 nanti.

Konsekuensi dari kenaikan suku bunga yang sangat agresif ini telah memunculkan fenomena flight to quality, yaitu terjadinya aliran modal keluar dari pasar keuangan di negara-negara berkembang ke pasar keuangan di negara-negara maju. Implikasinya, harga aset keuangan di negara-negara berkembang, seperti saham, obligasi, dan turunnya cenderung tertekan dan bergejolak. Bahkan, sejumlah investor global harus mengonversi aset keuangan ini menjadi uang kas untuk meminimalkan kerugiaan yang lebih besar akibat kekuatiran terhadap gejolak yang lebih tinggi, hingga terjadilah yang disebut dengan fenomena cash is the king.

Muara dari semua ini memunculkan apa yang disebut dengan strong dollar, yaitu menguatnya (apresesi) nilai tukar dollar AS terhadap hampir semua nilai tukar global lainnya, termasuk rupiah melemah dan bergejolak. Sehingga, untuk meredam gejolak dan pelemahan rupiah ini, Bank Indonesia harus melakukan berbagai kebijakan, mulai dari kebijakan triple intervention (pasar spot, NDF, dan SBN) melalui cadangan devisa dan menaikkan suku bunga kebijakan (BI-7DRR) hingga ke level 5.25% sampai November 2022.  

Mewaspadai Efek Tular 

Untunglah, di tengah situasi perekonomian global yang cenderung melambat dan berbalut ketidakpastian itu, kinerja perekonomian Indonesia tetap solid. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang ekspansif dan tumbuh di level 5.72% (yoy) di kuartal III-2022. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia ini jadi salah satu yang terbaik di antara negara-negara G-20.

Bukan itu saja, di tengah kekuatiran terjadinya resesi ekonomi global tahun 2023, perekonomian ekonomi Indonesia tetap diramalkan tumbuh positif di level 4.8%-5.0% (yoy) pada tahun 2023 nanti. Pendeknya, peluang ekonomi Indonesia untuk mengalami resesi sangat kecil.

Ilustrasi gambar: Pixabay.com
Ilustrasi gambar: Pixabay.com
Meski begitu, keadaan itu tidak menjamin ekonomi Indonesia aman. Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, perlambatan ekonomi global yang berbalut ketidakpastian itu tetap berpeluang memicu efek tular pada perekonomian Indonesia. Dan, harus diakui efek itu sudah mulai muncul, khususnya memasuki kuartal IV-2022, yaitu dengan makin melambatnya pertumbuhan ekspor dan tertekannya nilai tukar rupiah.

Margin Safety Investasi

Efek tular dari perekonomian dan pasar keuangan global ini juga akan memberikan sentimen dan tekanan pada investasi di pasar modal. Lihat saja, memasuki Desmber 2022, pasar saham cenderung bergejolak dan tertekan. Situasi yang sama juga terjadi di pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Padahal dalam dua tahun terakhir, gairah masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda (Gen-Z dan Gen-Y) berinvestasi di pasar modal begitu besar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah investor yang telah menembus 10 juta SID (single investor identification) sampai November 2022 atau tumbuh 307% dari tahun 2019. Dari 10 juta SID ini, sekitar 4.3 juta SID merupakan investor saham.

Meski begitu, peningkatan minat berinvestasi ini tidak diikuti dengan kemampuan literasi keuangan yang baik. Hal ini tecermin dari survei literasi dan inklusi keuangan 2022 yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menunjukkan terjadinya penurunan literasi pasar modal dari 4.9% tahun 2019 menjadi 4.11% tahun 2022.

Padahal, literasi keuangan yang membaik sangat dibutuhkan dalam menyikapi kondisi investasi pasar modal yang bergejolak agar tidak mengambil keputusan investasi yang salah yang akhirnya memicu kerugian yang lebih besar.

Salah satu keputusan investasi yang salah, misalnya dengan melakukan jual rugi (cutloss) dari saham-saham teknologi yang sempat hype, tetapi harganya saat ini merosot dan merotasinya ke aset yang spekulatif, seperti cryptocurrency. Harapannya, memperoleh cuan besar dan cepat, sehingga dapat menutup kerugian yang terjadi di saham. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Ilustrasi gambar: Pixabay.com
Ilustrasi gambar: Pixabay.com
Harus diakui tingginya ketidakpastian ekonomi global membuat tidak mudah lagi meraup cuan cepat dan besar seperti di masa lalu. Situasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga negara-negara lain, seperti AS. Itulah sebabnya, Majalah The Economist edisi 10-17 Desember 2022 dalam artikel panjangnya berjudul ‘The New rules of Investment’ mengatakan bahwa hampir semua instrumen investasi, mulai dari saham, obligasi, cryptocurrency, dan emas mencatatkan pertumbuhan yang sangat rendah, bahkan kontraksi.

Bahkan aturan alokasi investasi 60/40 (60% untuk saham dan 40% untuk obligasi) yang selama ini sering digunakan untuk memaksimalkan kinerja investasi portofolio  tidak lagi dapat diandalkan. Sebaliknya, aturan baru investasi portofolio harus kembali ditulis agar dapat beradaptasi dengan ketidakpastian yang begitu cepat berubah dan makin sulit diperkirakan.

Di tengah situasi ini, maka investor diharapkan tidak lagi hanya sekadar mengejar cuan yang tinggi dan cepat, tetapi akhir justru rugi. Namun, harus mulai memikirkan untuk memerhatikan margin safety dengan melakukan diversifikisi dan pemilihan aset portofolio yang baik untuk meminimalkan kerugian yang terus berulang.

Nasihat dari investor kawakan dunia, Warren Buffett menjadi sangat relevan, yaitu agar berhasil dalam investasi, maka seorang investor harus memperhatikan pada dua aturan.  Pertama jangan mau kehilangan uang. Kedua jangan lupakan aturan pertama.

Melirik EBA-SP Ritel 

Salah satu produk investasi yang memiliki kriteria baik di tengah situasi ketidakpastian yang begitu tinggi saat ini untuk dimasukkan dalam kerajang portofolio adalah EBA-SP ritel. Produk investasi ini adalah produk yang dikeluarkan oleh PT Sarana Multigriya Finansial (persero). Adapun EBA-SP ritel ini merupakan produk dari sekuritisasi yang merupakan efek surat utang (obligasi) yang memiliki agunan/jaminan/underlying dan diperdagangankan kepada investor ritel.

Mengapa EBA-SP ritel ini memenuhi kriteria yang baik sebagai aset investasi yang bisa dimasukkan dalam keranjang portofolio? Ada beberapa pertimbangan:

Pertama EBA-SP ini diterbitkan oleh sebuah lembaga pembiayaan sekunder perumahan yang memiliki reputasi yang baik dan berpengalaman yang juga sebagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah kementerian keuangan. Sehingga, produk ini memiliki potensi gagal bayar (default) yang sangat kecil, karena dijamin oleh pemerintah.

Kedua produk ini memiliki legalitas yang jelas, karena diatur melalui peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 23/POJK.4/2014. Salah satu yang memicu selalu berulangnya korban investasi bodong adalah ketidakcermatan memperhatian legalitas.   

Ketiga EBA-SP ritel ini memberikan tingkat kupon yang menarik sebesar 8.75% (gross) yang dibayarkan tiap tiga bulan sekali. Tingkat kupon ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat bunga deposito dan tingkat kupon SBN ritel besutan pemerintah.

Keempat EBA-SP ritel ini tidak membutuhkan nilai invetasi yang besar. Sebaliknya, nilai investasinya sangat terjangkau yang dapat dimulai dengan 100 ribu. Hal ini membuat siapapun bisa menjangkau produk ini. Dan, jika dilakukan secara konsisten, niscaya bisa menikmati hasil investasi yang memberikan cuan di masa depan.

Kelima EBA-SP ritel ini memiliki tingkat likuiditas yang baik dan dapat ditransaksikan melalui pasar sekunder kapanpun. Hal ini terjadi seiring dengan keberadaan market maker. 

Meski begitu, sebagai produk investasi, EBA-SP ritel ini juga memiliki risiko. Salah satunya risiko perubahan tingkat bunga yang dapat memengaruhi perubahan harga. Ketika tingkat bunga naik, maka harga EBA-SP cenderung turun. Demikian sebaliknya. Namun, situasi ini dapat dijadikan opportunity untuk memaksimalkan  capital gain. 

Dengan berbagai keunggulan itu, maka EBA-SP cukup layak dilirik sebagai salah satu aset untuk mengisi keranjang portofolio dan sekaligus memberikan cuan. Saat ini, EBA-SP ritel ini ditransaksikan melalui platform online trading BIONS yang dimiliki oleh PT BNI sekuritas. 

Untuk tahu lebih lanjut tentang produk investasi EBA-SP ini bisa mengunjungi www.smf-indonesia.co.id atau juga dapat melalui media sosial Instagram @inveseries dan @ptsmfpersero. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun