Mohon tunggu...
Desmonda Kalonica
Desmonda Kalonica Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa UMN

be the best and be useful for others

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Sosok Ayahku

5 Oktober 2019   22:18 Diperbarui: 5 Oktober 2019   22:32 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menengok keluar jendela kamarku, aku melihat ayahku membawa sekop itu. Ku lihat air mata mengalir di wajahnya. Isak tangisnya tertahan, keluar dari mulutnya dengan berat dan parau. Ia mengangkat sekop itu tinggi-tinggi, lalu menghujamkannya ke tanah. Mata sekop itu merobek tanah seakan-akan tanah itu adalah daging segar. Tak lama kemudian hujan pun menyirami seluruh tanah, namun ayahku tetap saya menggali tanpa henti.

Aku yang melihat kejadian janggal tersebut terheran heran. Rasa curiga, penasaran, dan takut yang ada dalam diriku bercampur aduk. Aku memberanikan diri untuk mencari tau sebenarnya ada peristiwa apa yang terjadi. Dengan perasaan takut, aku perlahan membuka daun pintu kamarku. Kondisi rumah saat itu sangat gelap dan sunyi membuat bulu kudukku berdiri. Tiba -- tiba terdengar suara pintu yang terbuka dan suara langkah yang megarah masuk ke rumahku. Aku bergegas sembunyi menuju samping rak hiasan supaya tak terlihat sedang memata -- matai.

Pada malam yang gelap dan sunyi itu terdengar suara petir yang menyambar sangat kencang sehingga aku terkejut dan tak sengaja menyenggol rak hiasan yang ada di belakangku. Aku pun tak sengaja menyenggol vas bunga kesayangan ibuku. Akhirnya jatuh dan pecah sehingga menimbulkan suara yang keras dan mengejutkan.

"Hei, nak!" Seperti ada yang memanggilku dari belakang.

Aku pun segera menoleh dan kudapati seorang kakek dengan baju serba putih. Kuhampiri dengan pelan-pelan, walaupun dalam benakku aku sangat takut. Aku kira orang yang tadi masuk adalah ayahku, namun dugaanku salah total, bahkan aku tak kenal dengan kakek tua ini.

"Ada apa, Bu?" Wajahku mulai memperlihatkan orang yang sedang bingung dan penuh tana tanya. Ibu cantik tersebut hanya diam saja dan terus berjalan ke arah yang tidak aku tau. Ternyata oh ternyata, ibu tersebut membawaku menuju loteng rumah.

Tak heran jika aku belum mengetahui seluruh ruangan di rumah ini karena aku baru saja pindah dari Jakarta setelah selesai kuliah ke daerah Weleri tempat ayahku sekarang tinggal. Aku terkejut dan bingung mengapa ibu ini membawaku ke loteng rumah. Saat aku sedang menengok ke arah belakang, tiba -- tiba kakek itu menghilang entah kemana. Aku pun semakin ketakutan, namun karena rasa penasaran ini, aku memberanikan diri untuk mengetahui ada apa di atas loteng tersebut dan mengapa kakek itu menuntunku menuju kesini. Di sana aku melihat ada 7 kepala wanita cantik yang dimasukkan ke dalam tabung air keras seperti sedang diawetkan. Aku terkejut dan heran sesungguhnya siapa yang telah memenggal kepala wanita -- wanita cantik itu. Aku curiga pada ayahku yang bertingkah aneh setelah lama kita tak bertemu, namun aku juga curiga pada kakek tua yang telah membawaku ke loteng ini.

Malam pun berlalu, aku mendapat bunga tidur yang begitu mengerikan. Aku pun bangun dengan terengah engah seperti orang yang baru usai latihan lari marathon. Mungkin aku mendapat mimpi buruk karena peristiwa semalam yang terus mengganggu pikiranku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung bangun dari tempat tidur dan bergegas pergi menuju ke rumah temanku karena aku yang tak nyaman berlama -- lama di rumah ini.

Ketika aku menceritakan semua tingkah aneh yang ayahku lakukan dan apa isi yang ada di loteng rumahku, temanku mencoba menenangkanku.

"Tenang saja Nik, menurutku mimpimu itu belum tentu menjadi kenyataan. Bisa jadi itu hanya bunga tidur karena kamu terlalu ketakukan dan memikir hal yang aneh -- aneh sehingga kamu memiliki asumsi buruk terhadap rumah tersebut ataupun ayahmu." Rian menenangkanku dengan suara rendahnya yang sangat menyapu jiwa.

Spontan aku pun langsung memeluk Rian karena aku sungguh takut. Ya, aku memang merasa sangat nyaman menceritakan segala keluh kesahku padanya. Seiring berjalannya waktu, Rian juga menjadi sosok yang sangat bijaksana dalam menyelesaikan segala permasalahan. Rupanya, aku sudah mulai menykainya.

Aku kembali ke rumah besar itu lagi. Rasanya tak berubah seperti tadi malam, masih saja sepi dan mengerikan padahal pada siang hari dan mentari masi berdiri tegap di sana. Saat berpapasan dengan ayahku, aku melihat matanya sembab seperti habis menangis semalam suntuk.

"Kau tak apa -- apa, yah? Mengapa matamu begitu sembab? Apa yang terjadi?", tanyaku terus menerus karena aku memang penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Tak ada yang perlu dikhawatirkan nak. Kamu urus saja karirmu. Bagaimana? Kamu sudah mendapat pekerjaan?" Ayahku mengelak dan berusaha mengalihkan ke topik lain.  

"Aku sudah melamar di berbagai perusahaan, tiggal tunggu hasil wawancaranya saja, yah. Kalau begitu, mengapa mata ayah menjadi sebesar itu? Apakah ayah menangis semalaman? Atau ayah begadang untuk bekerja semalaman?", jawabku sambil mengajukan pertanyaan untuk mendesak ayah supaya mau menjawab.

Ayahku hanya terdiam sambil tersenyum. Lalu aku mulai bertanya lagi "yah, kapan ibu akan pulang? Sebenarnya ia bekerja sebagai apa sampai harus bertugas di Pemalang?". Ayahku yang awalnya tersenyum, raut mukanya seketika berubah menjadi sedih dan matanya mulai berkaca -- kaca. Aku semakin terheran -- heran karena tak satu kata keluar dari mulutnya.

"Maafkan ayah, nak. Kalau boleh jujur, sebenarnya ibu kamu sudah pulang sejak seminggu yang lalu." Raut wajah ayahku mulai berubah menjadi sedih saat mengucapkannya.

Aku semakin bingung oleh jawabannya karena ibu tak ada di rumah selama aku pulang dan awalnya ayah berkata bahwa ibu sedang bekerja dan ditugaskan ke Pemalang.

"Maksud ayah pulang ke mana? Rupanya Niki tak melihat sosok ibu selama 2 hari setelah Niki pulang kemari." Aku semakin kebingungan dan bertanya -- tanya.

"Ibumu sudah pulang di sana. Ia sudah tenang berada di surga." Ayahku mengucapkan kalimat tersebut dengan nada berat seperti memiliki salah yang amat mendalam. Aku pun kaget dan masih tak percaya karena tidak ada yang memberitahunya mengenai kabar ini.

"Lalu ibu pergi karena apa, yah? Apakah beliau sakit di masa tuanya?", tanyaku terheran -- heran sambil menangis tersedu sedu atas perginya ibu. Aku merasa sangat sedih karena baru mengetahui berita ini sekarang.

"Tak perlu kau tau apa sebabnya. Apakah kamu ingin menyusul ibumu?", tanya ayahku yang melihat ke arahku dengan bola mata yang hampir keluar sambil menyodorkan pisau menuju arahku.

Aku pun kaget dan aku langsung berusaha kabur darinya. Aku mencoba melawan secara fisik meskipun aku harus melawan ayahku sendiri, namun aku harus melakukan perlawanan agar tetap bertahan hidup.

Setelah aku berasil lolos, aku segera menelpon polisi dan menceritakan segala kejadian serta keanehan di rumah itu. Ternyata  polisi menyatakan bahwa ayahku adalah seorang psikopat setelah kehilangan ibuku. Setiap hari ia membunuh 1 wanita cantik dan ia mengawetkan wajahnya untuk dipandangi, sedangkan tubuhnya dikubur di halaman rumah. Aku masih bersyukur masih diberi kesempatan untuk hidup dan bebas dari ayahku yang depresi dan mejadi psikopat itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun