Mohon tunggu...
Desi Sommaliagustina
Desi Sommaliagustina Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Hukum Universitas Dharma Andalas, Padang

Sebelum memperbaiki orang lain lebih baik memperbaiki diri kita dahulu |ORCID:0000-0002-2929-9320|ResearcherID: GQA-6551-2022|Garuda ID:869947|

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kekerasan di Sekolah: Luka Mendalam di Balik Seragam

8 Oktober 2024   17:30 Diperbarui: 9 Oktober 2024   17:00 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Anak adalah buah hati yang tak ternilai harganya bagi sebuah keluarga, maka dari itu menjaganya untuk tumbuh baik dan berkembang sebagaimana yang diharapkan adalah merupakan kewajiban mutlak bagi kedua orang tua yaitu ayah dan ibu. 

Bagaimana memilih pendidikan yang baik, pergaulan yang baik, lingkungan yang mendukung sudah sepantasnya orang tua wajib mengarahkan anak. Belakangan ini kasus kekerasan tehadap anak sering terjadi baik berupa fisik, seksual, penganiayaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap anak terjadi di sekolah, di lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi. 

Melansir dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan 35% dari 114 kasus kekerasan terjadi pada lingkungan Satuan Pendidikan. Selain itu juga tercatat 46 kasus anak mengakhiri hidup, 48% diantaranya terjadi pada Satuan Pendidikan atau anak korban masih berpakain seragam sekolah (Pusdatin KPAI, 2024). Angka kekerasan terhadap anak pada Satuan Pendidikan terus meningkat, hal ini harus disikapi dengan serius dengan bergerak serentak akhiri Kekerasan terhadap anak Pada Satuan Pendidikan.

Sangat miris sekali, jika kekerasan terhadap anak terjadi dalam lingkungan sekolah bahkan pelakunya adalah orang yang dikenal. Sebagaimana kita ketahui, dari berbagai media baik berita di koran, berita di TV atau media online lainnya sering memberitakan kejadian-kejadian tentang kekerasan terhadap anak. Oleh karena itu, ada baiknya sebagai orang tua agar lebih efektif menjaga dan memantau anak agar terhindar dari hal-hal tersebut.

Perbuatan kekerasan  yang dilakukan terhadap anak akan berdampak terhadap penderitaan yang dialami oleh anak ini, baik fisik, emosi, dan juga psikologisnya. Sudah dapat dipastikan bahwa ini bukan satu satunya kasus kekerasan pada anak yang terjadi di negeri ini. Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiayaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Sebagian besar kekerasan terhadap anak terjadi di rumah anak itu sendiri , di sekolah, atau di lingkungan tempat anak berinteraksi.

Kekerasan pada anak bisa memunculkan masalah fisik maupun psikologis pada si anak di kemudian harinya. Secara fisik mungkin bisa dilihat dari sekujur tubuhnya ada tanda tanda bekas kekerasan. Secara psikis, anak yang menjadi korban kekerasan dapat mengalami masalah kejiwaan seperti : gangguan stres pasca trauma, depresi, cemas, dan psikotik. 

Orang tua sering sekali tidak menyadari atau terlambat mengetahui bahwa anaknya menjadi korban kekerasan. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk mengenali tanda dan gejala kemungkinan anak menjadi korban kekerasan. Dalam tulisan ini, penulis mengangkat kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah tempat anak menimba ilmu. Namun, sekolah bisa menjadi salah satu tempat kekerasan itu terjadi. 

Kekerasan di lingkungan sekolah, baik itu fisik, verbal, atau psikologis, adalah masalah serius yang terus menghantui dunia pendidikan. Ironisnya, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak-anak untuk belajar dan berkembang, justru menjadi medan perang bagi mereka. Perundungan, kekerasan fisik oleh guru atau teman sebaya, hingga pelecehan seksual, adalah beberapa bentuk kekerasan yang sering terjadi. 

Kekerasan pada anak dalam satuan pendidikan  yang terjadi di sekolah bukan hanya meninggalkan bekas fisik, tetapi juga luka batin yang mendalam. Korban kekerasan seringkali mengalami trauma psikologis, kesulitan belajar, hingga menarik diri dari lingkungan sosial. Dalam jangka panjang, dampak kekerasan dapat bermanifestasi dalam bentuk depresi, kecemasan, bahkan perilaku antisosial.

Upaya Pencegahan Kekerasan oleh Satuan Pendidikan (Sumber: kemdikbud.go.id)
Upaya Pencegahan Kekerasan oleh Satuan Pendidikan (Sumber: kemdikbud.go.id)

Kekerasan di sekolah

Kekerasan di sekolah adalah masalah kompleks yang membutuhkan solusi yang komprehensif. Dengan kerja sama semua pihak, kita dapat menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua anak. Ingatlah, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.


Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah mengatur secara tegas mengenai perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk di lingkungan sekolah. 

Pasal 54 undang-undang tersebut menyatakan bahwa anak wajib mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.  

Definisi anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 adalah sebagai berikut: 

"Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan."

Definisi kekerasan menurut Pasal 1 angka 15 a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No.35/2014),yaitu:

"Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaraan, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum."

Pelaku kekerasan terhadap anak dapat dijerat Pasal 80 (1) jo. Pasal 76 c UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.


Pasal 76 c UU No. 35 Tahun 2014
"Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak."


Pasal 80 (1) UU No. 35 Tahun 2014
"Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)."


Selain itu, apabila mengakibatkan luka berat maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)


Pasal 80 (2) UU No. 35 Tahun 2014
"Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)"


Namun demikian, dalam praktiknya, penerapan hukum terhadap kasus kekerasan di sekolah masih seringkali menghadapi berbagai kendala. Beberapa di antaranya adalah:

  • Kurangnya kesadaran hukum: Banyak pihak, termasuk orang tua, guru, dan siswa, belum sepenuhnya memahami pentingnya melaporkan kasus kekerasan dan perlindungan hukum yang tersedia.
  • Stigma sosial: Korban kekerasan seringkali takut untuk melapor karena takut dianggap lemah atau malu.
  • Proses hukum yang panjang dan rumit: Proses hukum yang panjang dan rumit membuat banyak korban enggan untuk melanjutkan kasus.
  • Minimnya sanksi yang efektif: Sanksi yang diberikan kepada pelaku kekerasan seringkali dianggap terlalu ringan sehingga tidak memberikan efek jera.

Untuk mengatasi masalah kekerasan di sekolah, diperlukan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan, antara lain:

  • Peningkatan kesadaran: Melalui kampanye dan edukasi, masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang kekerasan terhadap anak, tanda-tanda kekerasan, serta cara melaporkan dan mencegahnya.
  • Penguatan peran sekolah: Sekolah harus menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif, serta memiliki mekanisme pelaporan dan penanganan kasus kekerasan yang jelas.
  • Peningkatan kualitas guru: Guru perlu diberikan pelatihan khusus untuk mengenali tanda-tanda kekerasan, melakukan intervensi dini, dan menciptakan iklim kelas yang positif.
  • Peningkatan penegakan hukum: Aparat penegak hukum perlu lebih proaktif dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak dan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku.
  • Peran aktif keluarga: Orang tua perlu memperhatikan tanda-tanda perubahan perilaku anak dan memberikan dukungan yang dibutuhkan.

Mari bersama-sama menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan bebas dari kekerasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun