Mohon tunggu...
Desi Sommaliagustina
Desi Sommaliagustina Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Hukum Universitas Dharma Andalas, Padang

Sebelum memperbaiki orang lain lebih baik memperbaiki diri kita dahulu |ORCID:0000-0002-2929-9320|ResearcherID: GQA-6551-2022|Garuda ID:869947|

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kekerasan Seksual: Bagaikan Gunung Es di Indonesia

22 Mei 2024   12:28 Diperbarui: 22 Mei 2024   14:39 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan seksual adalah masalah kompleks yang membutuhkan solusi komprehensif. Pengesahan UU TPKS adalah langkah maju, namun masih banyak yang harus dilakukan. Kita semua harus bersatu untuk melawan budaya patriarki dan stigma yang melanggengkan kekerasan seksual. Hanya dengan upaya kolektif dan berkelanjutan, kita dapat menciptakan masyarakat yang aman dan bebas dari kekerasan seksual bagi semua.

Komnas Perempuan mencatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019, naik 6% dari tahun sebelumnya. Angka ini kemungkinan jauh lebih besar karena banyak korban yang memilih diam karena stigma dan trauma. Realitas ini bagaikan bom waktu yang siap meledak. Kekerasan seksual bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga mencederai martabat dan masa depan korban. Dampaknya tak hanya fisik, tetapi juga psikis dan sosial, yang dapat menghantui korban seumur hidup. Pemerintah telah menunjukkan komitmennya dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada 12 April 2022. Undang-undang ini menjadi angin segar bagi penegakan hukum dan perlindungan korban.

Namun, pengesahan UU TPKS hanyalah awal. Tantangan terbesar adalah implementasinya. Diperlukan edukasi masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual, membangun sistem pelaporan yang aman dan mudah diakses, serta memastikan aparat penegak hukum mampu menangani kasus dengan sensitif dan profesional. Masyarakat sipil juga harus bahu-membahu dalam upaya ini. 

Organisasi-organisasi yang bergerak di bidang perlindungan perempuan dan anak perlu memperkuat jaringannya dan meningkatkan kapasitasnya dalam memberikan pendampingan dan layanan bagi korban. Peran keluarga pun tak kalah penting. Orang tua perlu membangun komunikasi terbuka dan edukasi seks yang komprehensif kepada anak-anak mereka. Menanamkan nilai-nilai saling menghormati dan kesetaraan gender sejak dini menjadi kunci dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual.

Menilik Kasus Kekerasan Seksual

Salah satu kasus yang pernah dipantau oleh Komnas Perempuan terkait kasus kekerasan seksual adalah kasus yang terjadi  pada 13 santriwati  pondok pesantren di Bandung  dengan pelaku HW, guru pesantren, yang menjadi sorotan publik sejak kasusnya disiarkan di berbagai media massa di Tanah Air pada 2021. 

Kasus kekerasan seksual 13 santriwati merupakan bagian dari fenomena gunung es terkait kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama. Kasusnya sendiri sudah berlangsunng sejak 2016 dan baru terungkap pada 2021. Sembilan bayi lahir akibat kekerasan seksual tersebut.

Sejak kasus-kasusnya terungkap, wacana hukuman mati muncul seiring tuntutan publik untuk pemenuhan hak-hak 13 santriwati korban kekerasan seksual. Wacana tersebut tak hanya bergulir di media massa, juga menjadi topik perbincangan dalam berbagai webinar. Komnas Perempuan  menerima permintaan wawancara dari berbagai media dan menjadi narasumber yang diselenggarakan lembaga pendidikan tinggi dan organisasi masyarakat sipil.

Dalam pemantauan Komnas Perempuan, kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama tergolong tinggi dibandingkan lembaga pendidikan secara umum. Komnas Perempuan juga mencatat kerentanan-kerentanan khusus anak perempuan korban kekerasan  seksual. 

Pertama, relasi kekuasaan berlapis antara pelaku selaku pemilik pesantren dan guru pesantren yang memiliki pengaruh dan dapat memanfaatkan pengaruhnya dengan santriwati. Kedua, publik yang menempatkan pemilik pesantren dan guru pesantren pada posisi terhormat. Ketiga, ketakutan korban dan keluarganya baik karena adanya ancaman maupun posisi terhormat pelaku. Keempat, korban dan keluarganya juga ketakutan mengalami hambatan-hambatan dalam proses pendidikan akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Di tengah-tengah kerentanan-kerentanan ini, Komnas Perempuan mengapresiasi keberanian 13 santriwati dan keluarganya untuk bersuara serta pendamping yang setia memfasilitasi agar kebenaran kasus terungkap.

Penghormatan terhadap hak atas hidup adalah komitmen global untuk menghentikan segala bentuk penghilangan nyawa manusia di seluruh dunia, seperti pembunuhan, honour killing, femisida, genosida dalam konteks perang dan atau konflik sosial bersenjata dan penghukuman mati. 

Atas putusan pidana mati terhadap HW dan di tengah-tengah tuntutan publik agar HW dihukum mati, Komnas Perempuan mendorong pengadilan untuk mempertimbangkan sanksi hukuman penjara seumur hidup seturut dengan prinsip dan norma HAM internasional. Menolak hukuman mati bukan berarti tidak mendukung korban. 

Deklarasi Universal HAM Pasal 3 menyatakan, "Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu" (UU No. 39/1999 tentang HAM); Pasal 9 berbunyi, "Setiap orang berhak untu hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya." Pasal 33 ayat (1) "Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya."

 Juga Kovenan Hak Sosial Politik. (a)   Pasal 6: "Setiap manusia berhak atas hak hidup yang melekat pada dirinya". (b) Pasal 7. "Tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat  manusia".

Kekerasan seksual kerap kali diidentikkan dengan perempuan sebagai korban. Namun, realita berkata lain. Laki-laki pun tak luput dari jeratan kelam ini. Luka yang mereka alami tak kasat mata, dan penderitaan mereka sering terabaikan. Stigma maskulinitas yang melekat pada laki-laki menjadi penghalang utama mereka untuk membuka diri dan mencari bantuan. Dianggap lemah, tak jantan, bahkan pengecut, menjadi konsekuensi yang harus mereka tanggung. Hal ini membuat banyak korban laki-laki memilih bungkam, terjebak dalam lingkaran trauma dan rasa malu.

Dampak kekerasan seksual pada laki-laki tak kalah parah dibandingkan perempuan. Gangguan mental seperti depresi, kecemasan, PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), bahkan sampai keinginan bunuh diri, menghantui mereka. Kepercayaan diri runtuh, relasi sosial terganggu, dan kualitas hidup pun merosot.

Kasus Reynhard Sinaga, predator seks asal Indonesia yang menggemparkan Inggris, menjadi bukti nyata bahwa laki-laki pun bisa menjadi korban. 195 korban laki-laki, mayoritas mahasiswa, menjadi saksi bisu kekejamannya. Kisah mereka membuka mata kita bahwa kekerasan seksual tak mengenal gender.

Lantas, apa yang bisa dilakukan? Pertama, mari ubah stigma. Percayalah bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban. Dengarkan suara mereka, berikan dukungan, dan jangan hakimi. Ciptakan ruang aman bagi mereka untuk berani berbicara dan mencari pertolongan.

Kedua, perkuat edukasi. Masyarakat perlu memahami bahwa kekerasan seksual tak hanya tentang penetrasi. Sentuhan tanpa persetujuan, voyeurisme, cyberbullying, dan segala bentuk pelanggaran seksual lainnya, termasuk dalam kategori ini. Edukasi ini perlu diberikan sejak dini, di sekolah, keluarga, dan komunitas.

Ketiga, tingkatkan akses layanan. Sediakan layanan konseling dan pendampingan khusus bagi korban laki-laki. Buatlah proses pelaporan yang mudah diakses dan ramah korban, sehingga mereka tak ragu untuk mencari bantuan.

Kekerasan seksual adalah luka kemanusiaan yang tak boleh dibiarkan. Mari bahu-membahu melawannya, tak peduli gender. Dukunglah para korban, dengarkan suara mereka, dan ciptakan dunia yang aman bagi semua.

Berikut beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan:

  • Sosialisasi UU TPKS: Masyarakat perlu memahami hak-hak mereka dan bagaimana cara melaporkan kasus kekerasan seksual.
  • Penguatan sistem pelaporan: Perlu dibentuk layanan pelaporan yang mudah diakses dan aman bagi korban, seperti hotline dan platform online.
  • Pelatihan aparat penegak hukum: Aparat penegak hukum perlu dilatih untuk menangani kasus kekerasan seksual dengan sensitif dan profesional.
  • Pencegahan melalui edukasi: Edukasi seks yang komprehensif perlu diberikan sejak dini untuk membangun pemahaman tentang consent dan kesetaraan gender.
  • Dukungan bagi korban: Korban kekerasan seksual membutuhkan pendampingan psikologis dan layanan kesehatan yang memadai.

Kekerasan seksual tidak terjadi sebatas pada perempuan saja. Laki-laki juga tidak luput dari tindakan kekerasan seksual. Ingat, laki-laki juga manusia. Luka mereka nyata, dan penderitaan mereka patut dipedulikan. Bersama, kita lawan stigma dan ciptakan dunia yang bebas dari kekerasan seksual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun