Keberadaan Badan Regulasi Nasional (BRN) telah menjadi wacana yang mengemuka di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. BRN diusulkan sebagai lembaga yang akan bertugas untuk menyusun, mengharmonisasi, dan mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Pada tahun 2022, pemerintah telah membentuk tim kerja untuk menyusun konsep BRN. Tim kerja tersebut telah menyelesaikan tugasnya dan menyerahkan konsep BRN kepada pemerintah pada bulan Desember 2022.
Konsep BRN yang telah disusun oleh tim kerja tersebut memberikan gambaran bahwa BRN akan menjadi lembaga yang memiliki kewenangan yang luas. BRN akan memiliki kewenangan untuk menyusun peraturan perundang-undangan, mengharmonisasi peraturan perundang-undangan, dan mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
Keberadaan BRN diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang selama ini terjadi dalam sistem regulasi di Indonesia. Permasalahan tersebut antara lain adalah banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, belum terharmonisasinya peraturan perundang-undangan, dan belum efektifnya pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
Pembentukan BRN juga diharapkan dapat meningkatkan kepastian hukum bagi masyarakat. Dengan adanya BRN, masyarakat akan dapat memperoleh informasi yang jelas dan komprehensif tentang peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Meskipun demikian, masih ada beberapa pihak yang mempertanyakan perlunya pembentukan BRN. Pihak-pihak tersebut berpendapat bahwa pembentukan BRN akan menambah birokrasi dan akan membebani anggaran negara.
Pemerintah perlu memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang konsep BRN kepada masyarakat. Pemerintah juga perlu meyakinkan masyarakat bahwa pembentukan BRN akan memberikan manfaat yang lebih besar daripada kerugiannya.
Apa itu Badan Regulasi Nasional?
Badan Regulasi Nasional (BRN) adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 20 Juli 2023. BRN memiliki tugas dan fungsi untuk:
- Perencanaan dan penyusunan kebijakan nasional di bidang tata kelola regulasi;
- Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan nasional di bidang tata kelola regulasi;
- Penyelenggaraan evaluasi dan monitoring pelaksanaan kebijakan nasional di bidang tata kelola regulasi;
- Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Presiden.
BRN dipimpin oleh seorang Kepala yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kepala BRN harus memiliki pengalaman dan kompetensi di bidang tata kelola regulasi. BRN berkedudukan di ibu kota negara.
Berikut adalah struktur organisasi BRN:
- Kepala;
- Sekretariat Jenderal;
- Direktorat Jenderal Perencanaan dan Kebijakan Regulasi;
- Direktorat Jenderal Koordinasi dan Sinkronisasi Regulasi;
- Direktorat Jenderal Evaluasi dan Monitoring Regulasi.
Pembentukan BRN merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas regulasi di Indonesia. Regulasi yang berkualitas haruslah jelas, konsisten, efektif, dan efisien. BRN diharapkan dapat menjadi otoritas tunggal pengelola regulasi di Indonesia dari sisi eksekutif.
BRN memiliki beberapa tugas penting, antara lain:
- Melakukan kajian dan analisis terhadap regulasi yang ada untuk memastikan bahwa regulasi tersebut memenuhi prinsip-prinsip regulasi yang berkualitas.
- Melakukan harmonisasi regulasi antar kementerian/lembaga agar tidak terjadi tumpang tindih atau konflik antar regulasi.
- Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan regulasi untuk memastikan bahwa regulasi tersebut efektif dan efisien.
BRN diharapkan dapat menjadi motor penggerak reformasi regulasi di Indonesia. Dengan adanya BRN, diharapkan regulasi di Indonesia dapat menjadi lebih berkualitas dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Menyesalinya Prahara Putusan MK Capres-Cawapres
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 71/PUU-XX/2022 tentang uji materi Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah menimbulkan polemik di masyarakat. Putusan tersebut dinilai telah membuka peluang bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) yang memiliki keterbatasan fisik untuk mencalonkan diri.
Putusan MK tersebut telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sebagian masyarakat menyambut baik putusan tersebut, sementara sebagian lainnya menyesali putusan tersebut. Masyarakat yang menyambut baik putusan MK tersebut berpendapat bahwa putusan tersebut merupakan langkah maju dalam mewujudkan demokrasi yang inklusif. Putusan tersebut dinilai telah memberikan kesempatan bagi semua warga negara untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan wakil presiden, termasuk bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik.
Sementara itu, masyarakat yang menyesali putusan MK tersebut berpendapat bahwa putusan tersebut telah mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan. Putusan tersebut dinilai telah memberikan keuntungan bagi pasangan calon yang memiliki keterbatasan fisik, sementara pasangan calon yang tidak memiliki keterbatasan fisik akan menjadi dirugikan.
Putusan MK tersebut juga menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan Indonesia dalam melaksanakan demokrasi yang inklusif. Pertanyaan tersebut antara lain adalah apakah Indonesia sudah memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung pelaksanaan demokrasi yang inklusif, serta apakah masyarakat Indonesia sudah siap untuk menerima pasangan calon yang memiliki keterbatasan fisik. Pemerintah perlu memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang implementasi putusan MK tersebut. Pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya demokrasi yang inklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H