Berikut adalah struktur organisasi BRN:
- Kepala;
- Sekretariat Jenderal;
- Direktorat Jenderal Perencanaan dan Kebijakan Regulasi;
- Direktorat Jenderal Koordinasi dan Sinkronisasi Regulasi;
- Direktorat Jenderal Evaluasi dan Monitoring Regulasi.
Pembentukan BRN merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas regulasi di Indonesia. Regulasi yang berkualitas haruslah jelas, konsisten, efektif, dan efisien. BRN diharapkan dapat menjadi otoritas tunggal pengelola regulasi di Indonesia dari sisi eksekutif.
BRN memiliki beberapa tugas penting, antara lain:
- Melakukan kajian dan analisis terhadap regulasi yang ada untuk memastikan bahwa regulasi tersebut memenuhi prinsip-prinsip regulasi yang berkualitas.
- Melakukan harmonisasi regulasi antar kementerian/lembaga agar tidak terjadi tumpang tindih atau konflik antar regulasi.
- Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan regulasi untuk memastikan bahwa regulasi tersebut efektif dan efisien.
BRN diharapkan dapat menjadi motor penggerak reformasi regulasi di Indonesia. Dengan adanya BRN, diharapkan regulasi di Indonesia dapat menjadi lebih berkualitas dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Menyesalinya Prahara Putusan MK Capres-Cawapres
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 71/PUU-XX/2022 tentang uji materi Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) telah menimbulkan polemik di masyarakat. Putusan tersebut dinilai telah membuka peluang bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) yang memiliki keterbatasan fisik untuk mencalonkan diri.
Putusan MK tersebut telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sebagian masyarakat menyambut baik putusan tersebut, sementara sebagian lainnya menyesali putusan tersebut. Masyarakat yang menyambut baik putusan MK tersebut berpendapat bahwa putusan tersebut merupakan langkah maju dalam mewujudkan demokrasi yang inklusif. Putusan tersebut dinilai telah memberikan kesempatan bagi semua warga negara untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan wakil presiden, termasuk bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik.
Sementara itu, masyarakat yang menyesali putusan MK tersebut berpendapat bahwa putusan tersebut telah mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan. Putusan tersebut dinilai telah memberikan keuntungan bagi pasangan calon yang memiliki keterbatasan fisik, sementara pasangan calon yang tidak memiliki keterbatasan fisik akan menjadi dirugikan.
Putusan MK tersebut juga menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan Indonesia dalam melaksanakan demokrasi yang inklusif. Pertanyaan tersebut antara lain adalah apakah Indonesia sudah memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung pelaksanaan demokrasi yang inklusif, serta apakah masyarakat Indonesia sudah siap untuk menerima pasangan calon yang memiliki keterbatasan fisik. Pemerintah perlu memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang implementasi putusan MK tersebut. Pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya demokrasi yang inklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H