Cyberculture adalah budaya penyatuan kultur dimana computer atau laptop pribadi, gadget, dan seperangkat multimedia yang menyediakan komunikasi terintegrasi.Â
Penyatuan tersebut tidak sebatas pada penyatuan platform (basic design) perangkat teknologi, tetapi juga pada ragam fungsi dimana hiburan dan informasi diintegrasikan ke dalam "hiburan informasi".Â
Cyberculture juga mencakup studi tentang berbagai fenomena social yang terkait dengan internet dan bentuk baru lainnya dari komunikasi jaringan seperti komunitas online, game, jejaring social,dan semua hal yang terkait dengan identitas, rahasia, privasi, dan pembentukan jaringan melalui jaringan komputer. Ini juga termasuk aktivitas, permainan, tempat dan metafora, dan mencakup dasar dari berbabagi aplikasi.Â
Beberapa didukung oleh perangkat lunak khusus dan dijalankan pada protocol web yang diterima secara umum, contohnya, budaya jaringan seperti, Blogs, Chat, E-Commerce, Games, Internet, Social networks, dan Virtual worlds.Â
Beberapa faktor yang ada dalam budaya cyberculture adalah anonymous atau dikenal dengan identitas nyata/asli atau identitas virtual/maya, komentar dengan atau tanpa rating, feedback positif atau feedback negative, termoderasi atau tidak termoderasi. Beberapa factor yang ada dalam budaya cyberculture adalah anymous atau yang biasa dikenal dengan aktivitas hacker.
Dimasa pandemi Covid-19, hal ini bisa menjadi awal bagi sebagian orang yang "dipaksa atau terpaksa" untuk bergabung dan menjadi bagian dari cybersociety, sekaligus mengikuti kebiasaan baru yang membentuk cyberculture ini.Â
Kebiasaan aktivitas yang secara otomatis kita jalani setiap harinya pada akhirnya harus diganti dengan segala sesuatu semua serba dari rumah. Mencari informasi, berkomunikasi, dan bersosialisasi menggunakan aplikasi, seperti Facebook, Instagram, Line, dan Whatsapp telah menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan kebanyakan orang selama pandemi ini berlangsung.Â
Termasuk menggunakan e-commerce atau aplikasi transportasi online untuk membeli kebutuhan dasar seperti memesan makanan melalui aplikasi grabfood, membeli obat-obatan, membeli pakaian, dan peralatan rumah tangga lainnya secara online.
Istilah-istilah lockdown, work from home, study from home, dan video conference telah menjadi istilah yang tidak asing lagi di berbgai kalangan masyarakat, selama pandemi Covid-19 berlangsung. Adanya situasi dan kondisi tersebut (pandemic) telah menyebabkan perubahan yang sangat signifikan terhadap kehidupan social.Â
Banyak hal baru yang bermunculan dan terjadi. Salah satunya munculnya budaya baru dan memaksa kita untuk terlibat dalam budaya cyberculture atau budaya siber.
Cyberculture tidak lepas dari perkembangan teknologi dan media baru, yang secara sukarela telah membawa kita ke dalam budaya baru. Seperti dari bekerja, belajar, sekolah, kuliah, seminar, rapat, berbelanja, memesan, bahkan menonton film atau pertunjukan seni dan konser, kita dipaksa untuk bekerja dari rumah menggunakan dunia maya (cyber world).Â
Tidak hanya itu, hubungan dan komunikasi antar individu, kelompok, organisasi, bahkan public telah bergeser dari realitas social di dunia nyata ke realitas virtual di dunia maya.Â
Cyrber world yang terbentuk dari kerjasama internet dan teknologi informasi berpotensi membentuk masyarakat baru yang biasa disebut masyarakat cyber (cyber-society). Kita dapat melihat bagaimana sebagain besar kebiasaan yang wajib kita lakukan harus ditinggalkan atau ditunda.Â
Misalnya, upacara keagamaan untuk umat muslim, sehingga banyak masjid harus meniadakan shalat Jum'at dan shalat Tarawih selama bulan Ramadhan karena adanya wabah Covid-19. Sebuah bentuk kewajiaban yang tidak dapat digantikan oleh pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi ini.Â
Karena sampai saat ini tidak ada ulama yang membenarkan ibadah shalat Jum'at berjamaah bisa dilakukan secara online di rumah masing-masing.
Dengan maraknya cyberculture ini, kita harus bisa lebih aware terhadap penggunaan teknologi selama pandemi berlangsung, selain banyaknya manfaat yang kita dapatkan melalui penggunaan tekonologi pada akhirnya akan banyak orang jahat yang akan memanfaatkan melalui media teknologi seperti, penyebaran berita hoax, pornografi yang melibatkan anak-anak, modus penipuan, bocornya data pribadi, dan masih banyak kejahatan lainnya.
Contoh kasus yang dikutip di Kumparan.com:
Rabu (06/04), kita dikejutakan dengan munculnya video yang menunjukkan seorang siswi SMA menacaci maki seorang polisi wanita. Kejadian bermula ketika seorang polwan yang kemudian diidentifikasi sebagai Ipda Perida Panjaitan menghentikan konvoi mahasiswa yang sednag merasayakan ujian nasional.Â
Video ini berkembanga pesat dan kemudian menjadi viral di media social. Merasa institusinya terganggu dengan adanya video ini, polisi mulai menyelediki beberapa pihak terkait.
Kita juga harus bisa belajar menyaring informasi-informasi yang benar yang ada di social media itu sendiri, khusunya pada anak-anak.
Seperti yang dilansir di Merdeka.com :Â
Dengan adanya upaya pemerintah untuk memberikan edukasi literasi digital melalui kerja sama dengan lebih 110 institusi yang meliputi komunitas akademisi Lembaga pemerintah dan sector swasta.Â
Pemerintah melaksanakan program literasi digital, antara lain melalui Gerakan nasional literasi. Manfaatkan kebiasaan baru dalam kerangka keamanan siber, selamat dating kepada bagi semua Generasi Z dan Generasi Alpha memasuki dunia cyberculture atau budaya siber virtual.
Daftar Pustaka:
Primadineska, R. W. (2021). Pengaruh Penggunaan Sistem Pembayaran Digital terhadap Perilaku Beralih di Era Pandemi COVID-19. Telaah Bisnis, 21(2), 89.
Riyanto, W. F., & Abror, R. H. (2021). Filsafat Digital Integral: Reformulasi Program Literasi Digital Nasional di Era Pandemi Covid-19 di Indonesia. 9, 303--322.
Goi, C. L. (2009). Cyberculture: Impact on netizen. Journal of Internet Banking and Commerce, 14(1).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H