Selesai melepas penat, kantuk dan rasa lapar plus menunaikan sholat, kami melanjutkan perjalanan. Kini tujuan kami adalah rumah Om yang ada di salah satu cluster di Sukodono. Namun rupanya kami belum berjodoh dengan Om dan keluarga. Beliau sekeluarga sedang tidak ada di rumah. Maka kamipun menuju ke tempat berikutnya yaitu rumah tante saya. Lek Hus begitu saya memanggil beliau.
Lengang...
Kami mendapati rumah yang  berukuran besar itu tampak sepi. Tapi satu hal yang membuat kami yakin bahwa beliau ada di rumah adalah mobil yang terparkir di luar halaman. Kamipun mengetuk pintu. Namun hingga ketukan dan salam yang kedua tidak ada sahutan dari dalam. Ketukan dan salam ketiga kami ucapkan. Beberapa menit kemudian kami sudah bersiap untuk pergi karena belum juga ada sahutan.Â
Namun ketika hendak menaiki motor ternyata pintu terbuka dan tampaklah wajah Lek Husna. Lagi-lagi kami berucap syukur. Niatan kami tidak lama di rumah Lek Hus karena kami harus melanjutkan perjalanan ke desa Sidorejo Pepe, desa yang menjadi saksi tumbuh dan besarnya saya. Namun Allah SWT berkehendak lain. Hujan turun dengan derasnya memaksa kami untuk bertahan disana.Â
Kamipun dipersilahkan untuk istirahat di kamar. Setealah tidur siang, makan dan bersih diri kami berencana bertolak ke desa saya, namun diluar masih hujan. Hingga akhirnya pukul 16.47 hujan mulai reda dan kamipun bisa melanjutkan perjalanan ke desa saya.
Perjalanan menuju titik pemberhentian selanjutnya ini cukup menyenangkan bagi saya dan anak-anak saya. Mereka dimanjakan dengan sawah yang membentang luas dengan berbagai aktivitasnya.Â
Bau tanah yang khas selepas diguyur air hujan. Bau yang jarang saya dapati di Surabaya. Anak-anak asyik melihat burung-burng yang terbang di atas sawah, orang-orangan sawah, dan kerbau yang sedang bermain di sawah.Â
Mereka takjub dengan jumlah kerbau yang begitu banyak. Hampir setiap sawah terdapat beberapa ekor kerbau. Anak-anakpun mulai menghitung jumlah kerbau yang ada. Tidak terasa kamipun tiba di desa saya setelah matahari mulai menyembunyikan diri dan gelap mulai merayap.
Alhamdulillah kami bersyukur meski dengan berbagai rintangan yang ada bisa menempuh perjalanan mudik dengan lancar. Sambutan hangat dari keluarga membuat kami seakan lupa dengan letih yang ada.
Hanya sehari kami singgah di desa tempat tinggal saya sewaktu kecil. Bersilahturahmi dengan saudara yang ada disana kemudian melanjutkan perjalanan ke Jember untuk bersua dengan Budhe dan saudara lainnya yang tinggal disana. Namun itupun tidak lama.Â
Keesokan harinya kami harus segera kembali ke Surabaya. Dua hari yang indah, saya lalui bersama keluarga kecil menjalani mudik Lebaran. Gili Ketapang yang menjadi impian sebelumnya tak sempat lagi kami kunjungi. Karena amanah sudah menanti. Selamat tinggal kampung halaman. Selamat tinggal Gili Ketapang. Semoga kami bisa mengunjungimu di lain kesempatan. Aamiin...