Hidup di dalam masyarakat yang patriarkis membuat kita banyak sekali mendengar stereotype seksis, misalnya perempuan harus bisa masak, sedangkan laki-laki harus bisa olahraga. Stereotype seperti ini, sayangnya sering dianggap remeh oleh masyarakat umum, karena dianggap tidak merugikan siapa-siapa.
Tetapi yang sering tidak kita sadari, stereotype gender ini mempunyai implikasi yang serius, yaitu pertama kita menjadi memaksakan definisi yang strict mengenai maskulinitas dan femininitas, dan kita sebagai manusia pun dipaksa untuk selalu mengerti tentang maskulinitas dan feminitas yang kaku tersebut.
Terutama untuk laki-laki, seperti yang bisa kita lihat, ketika laki-laki bertingkah tidak sesuai dengan kelaminnya, maka ia akan disudutkan, karena sebagian masyarakat umum merasa ia sedang emasculate dirinya sendiri sebagai laki-laki, dan karena emasculate tersebut dianggap sebagai hal yang memalukan.
Selanjutnya yaitu, stereotype gender juga sering mempromosikan hierarki antara perempuan dan laki-laki, yang akhirnya mendorong kebencian terhadap perempuan, yang akhirnya hak dan kemerdekaan perempuan menjadi dibatasi.
Untuk maskulinitas yang kaku itu sendiri, karakter seperti dominasi seksual, emosi yang pasif, perilaku yang agresif, hal itu juga menjadi reinforce, laki laki juga akhirnya didukung dan didorong untuk membuktikan kemaskulinitasnya tersebut.
Karena stereotype tersebut, banyak laki-laki yang diajarkan sejak kecil bahwa dirinya itu lebih baik dari perempuan. Akhirnya laki-laki tersebut tumbuh menjadi laki-laki yang mempunyai ego yang besar, dan itu bermanifestasi menjadi suatu fenomena yang disebut Male Entitlement.
Male intitlement adalah keinginan untuk selalu mencari dan menjaga kekuasaan dan kekuatan, yang menurut patriarki adalah hak pria. Ketika laki-laki itu mendapatkan penolakan atas hal tersebut, maka ia akan merasa menjadi pecundang, merasa putus asa, merasa malu dan kemudian ia akan merasa butuh untuk melakukan sesuatu dengan tujuan mengganti rasa malu tersebut dengan pride, untuk menunjukkan pada kita bahwa "ini loh aku".
Tidak jarang pula, statement itu adalah perilaku yang agresif atau bahkan kekerasan. Karena balik lagi diawal yaitu, toxic masculinity. Kaum patriarki juga meyakinkan pada laki-laki bahwa hal tersebut wajar dilakukan, karena ia sudah di permalukan, ditolak, dan tidak dihargai.
Apa saja sih contoh dari male intitlement itu?
Bukan hanya toxic man saja, tetapi juga yang dilakukan oleh perempuan. Yang sering kita dengar yaitu laki-laki yang obsesi terhadap satu perempuan, padahal perempuan tersebut sudah menolak dengan baik-baik tetapi masih juga dikejar bahkan semakin agresif. Sayangnya hal seperti ini sangat sering diromantisasi, padahal ini adalah salah satu red flag dari laki-laki yang sangat harus dihindari.
Selain itu, contoh dari male intitlement adalah honour killing. Honour killing ini sering terjadi di Asia Selatan, negara Timur Tengah, dan ditempat-tempat yang culture partiarkinya masih sangat kental. Honour killing adalah tindakan criminal yang dilakukan terhadap anggota keluarga karena dianggap berlaku tidak pantas secara kultur atau agama, dan dianggap sudah memperlakukan keluarga. Lagi-lagi, perempuan menjadi korban utama berdasarkan data dari United Nations, 5000 perempuan dan anak perempuan menjadi korban honour killings setiap tahunnya.
Mengapa honour killing menjadi contoh utama dari male intitlement?Â
Karena pelakunya hampir semua yaitu laki-laki, entah itu kakak,adik, paman, sepupu, atau bahkan ayah korban itu sendiri. Mereka sebagai laki-laki merasa tidak dihargai oleh perempuan yang menjadi korban tersebut, dan dengan waktu yang bersamaan toxic masculinity mereka merasa berhak untuk mengambil nyawa perempuan tersebut.
Ternyata toxic masculinity itu sangat berbahaya, bahkan walaupun mereka menganggap hal itu sepele tetapi hal itu hingga sampai menyebabkan fenomena yang serius. Yang harus kita lakukan agar tidak terjadi lagi male intitlement yaitu, kita semua harus belajar mengenai kesetaraan gender dan patriarki. Kedua, kita harus tanya pada diri sendiri apa arti maskulin dan feminin untuk diri kita, dalam konteks gender, bukan seks atau alat kelamin. Hal ini juga perlu didukung oleh kita yang berhenti untuk mendorong culture yang merugikan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H