Sejak dahulu hingga sekarang pun, perempuan selalu diajarkan untuk hati-hati terhadap laki-laki. Selama ini narasi yang diterima oleh perempuan adalah perempuan memang harus mampu mawas diri terhadap laki-laki, perempuan memang harus melindungi diri dari laki-laki, tidak hanya dari laki-laki yang tidak kita kenal, tetapi sangat tidak menutup kemungkinan bahwa kekerasan atau pelecehan seksual datang dari laki-laki yang kita kenal, bahkan orang terdekat kita.
Padahal culture seperti ini sangat merugikan perempuan. Jadi, wajar saja jika perempuan takut, resah, bahkan marah, karena perempuan merasa terbebani dengan stereotype yang ada dalam masyarakat.
Lalu akibat dari orang-orang "all man" tersebut, kita harus selalu mengingatkan mereka bahwa gerakan feminisme itu bukan untuk membenci laki-laki, bukan untuk mendominasi laki-laki, bukan untuk berada diatas laki-laki. Hal yang jelas terjadi yaitu, maskulinitas laki-laki terlalu rapuh, ego mereka terlalu tinggi untuk mengakui bahwa perempuan memang lebih sering dinomor duakan.
Bahkan ketika perempuan sedang bergerak untuk mendapatkan haknya, sebagai perempuan masih sering diingatkan untuk bersikap baik agar laki-laki merasa nyaman dengan pergerakan kita, agar laki-laki tidak merasa diserang. Jika perempuan terlalu agresif, perempuan akan dicap hypocritical.
Sebenarnya, secara tidak sadar laki-laki itu mempunyai tanggung jawab terhadap perempuan disekitarnya. Mungkin culture toxic terhadap perempuan masih eksis hingga saat ini karena di masyarakat sendiri laki-laki membantu untuk hal itu tetap ada dan laki-laki tidak protes saat ada diskriminasi terhadap perempuan. Padahal dengan diamnya laki-laki, mereka secara tidak langsung mengizinkan perempuan disekitarnya atau terdekatnya mengalami kekerasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H