“Iya kek sama-sama, rumah kakek dimana? Mau kemana?”, tanya pria berbaju putih. Sementara aku hanya menyaksikan mereka berdua berbicara sambil menatap dengan lekat.
“Rumah saya di desa Pandan mau ke desa Ulir. Mau jenguk cucu sedang sakit”.
“Kenapa naik sepeda siang-siang kek, kan jauh?”, spontan aku bertanya. Terdengar kurang sopan, namun aku hanya penasaran.
“Saya hanya punya sepeda, saya tinggal sendiri, anak saya hanya satu dan sudah menikah, sekarang cucu sedang sakit. sudah 3 bulan saya tidak ketemu anak dan cucu saya”, air mata pria tuapun mulai mengalir. Entah mengapa aku terhanyut mendengarkan ceritanya, ada kesedihan yang terasa dari getaran suaranya.
Matakupun tak sengaja bertatapan dengan pria berkaos putih, bukan tatapan cinta, tapi kami berdua menatap karna iba.
Ku ambil tisu dalam tas, aku berikan kepada si pria tua untuk mengusap air matanya, dia sudah terlalu tua untuk bersedih, tapi inilah dunia, kesedihan tiada akhir. Pria tua lalu berdiri, berpamitan kepada kami dan mengayuh sepedanya.
Lalu aku, aku lupa keluar rumah untuk apa?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H