Filsafat yang ketiga adalah filsafat Islam. Filsafat Islam muncul di tengah-tengah kehidupan umat Islam yang mengubah pandangan hidup umat Islam. Awalnya, umat Islam memiliki cara berpikir yang bersifat dogmatic tradisionalisme yang berarti adat alam diwariskan secara turun-temurun tanpa boleh digangu gugat (diubah-ubah). Kemudian, filsafat Islam muncul memberikan keleluasaan pada umat Islam untuk mengembangkan pemikirannya meskipun harus menentang kebiasaan lama. Dikuti dari Kurniati et al., 2015, pada abad ke-9 hingga ke-12, filsafat dipelajari oleh umat Islam sehingga melahirkan beberapa filsuf Islam diantaranya Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rushd, dan lain sebagainya. Namun, pada abad ke-19, tidak ada seorang pun umat Islam yang mempelajari filsafat dikarenakan akan dihukum oleh agamanya, yang berbunyi man tamantak faqad tazandak yang berarti barang siapa yang mempelajari filsafat/lohika maka kafirlah dia. Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya polemic dan pertentangan antara Al-Ghazali dengan Ibnu Rushd. Al-Ghazali kemudian mengarah sebuah buku yang memiliki judul "Tahafud el-Falasifah" yang artinya "Kehancuran Filsuf".
 Filsafat keempat adalah filsafat Ki Hadjar Dewantara. Filsafat Ki Hadjar Dewantara adalah filsafat yang berkembang di Indonesia. Lahiranya filsafat Ki Hadjar Dewantara ini dikarenakan pendidikan Indonesia pada zaman colonial yang tidak sesuai dengan cita-cita dan karakter bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, Ki Hadjar Dewantara melahirkan beberapa gagasan-gagasan pada bidang pendidikan yang bertujuan untuk menghantarkan pendidikan Indonesia yang dapat memberikan kemerdekaan dan kebahagiaan bagi anak bangsa. Dikutip dari Sugiarta et al., 2019, Ki Hadjar Dewantara membedakan antara pengajaran dan pendidikan. Pengajaran memiliki makna kemerdekaan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan), sedangkan pendidikan memiliki makna kemerdekaan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir, pengambilan keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Selain itu, Ki Hadjar Dewantara juga mencetuskan sistem among yaitu Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.
Implikasi filsafat timur dalam pendidikan adalah pendidikan berfungsi agar individu mencapai kebijaksanaan dengan menanamkan nilai-nilai karakter dan agama. Ditinjau dari peran guru, filsafat timur menganggap guru bertugas menyampaikan ilmu kepada anak didik serta membimbing peserta didik hidup dengan baik dan benar. Peserta didik mempelajari alam semesta bertujuan agar timbul rasa syukur terhadap Tuhan dan keinginan untuk memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Selanjutnya, implikasi filsafat Ki Hadjar Dewantara pada pendidikan, khususnya Indonesia adalah menjadi cikal bakal kurikulum yang sedang diterapkan saat ini yaitu kurikulum merdeka. Sama dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara, kurikulum merdeka menghendaki peserta didik mencapai kebahagiaan dalam proses pendidikan dengan kemerdekaan mengembangkan potensi sesuai dengan kodratnya. Peran guru disini adalah membimbing peserta didik untuk mengembangkan potensinya masing-masing, sehingga setiap individu mendapatkan pengetahuan yang cukup dan kesempatan belajar yang sama.
Referensi:Â
Kurniati, I. D., Setiawan, R., Rohmani, A., Lahdji, A., Tajally, A., Ratnaningrum, K., Basuki, R., Reviewer, S., & Wahab, Z. (2015). Buku Ajar Filsafat Sejarah. Universitas Lambung Mangkurat: Progam Studi Pendidikan Sejarah.
Lasiyo. (1997). "PEMIKIRAN FlLSAFAT TIMUR DAN BARAT". Jurnal Filsafat.
Sugiarta, I. M., Mardana, I. B. P., Adiarta, A., & Artanayasa, W. (2019). Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara (Tokoh Timur). Jurnal Filsafat Indonesia, 2(3), 124--136. https://doi.org/10.23887/jfi.v2i3.22187
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI