Suara yang didengarnya itu pasti suara pistol yang dikokang. Pelan pelan ia mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dengan lutut gemetar. Belum sempat ia menoleh atau bicara, terdengar ocehan.
" Ngapain angkat tangan, DC ? Apa kamu mengira aku pembunuh kiriman Tiara Kencana?" suara empuk itu bergema di telinga DC.
DC menoleh sambil menurunkan tangannya. Ia lega, tapi jengah ketahuan parno terhadap pembunuh bayaran. Â " Tanganku keram. Jadi, pengen dirilekkan sejenak," katanya culas sambil meremas jari-jarinya agar berbunyi kletak-kletuk.
" Hahahaha..." Zee ketawa. Ternyata tadi itu bukan suara pistol dikokang, melainkan Zee sedang melepas kaitan helemnya. Motornya parkir di pinggir jalan. Sebuah moge 250 CC hitam legam.
" Tumben datang mengunjungiku tanpa diminta," skak DC. Ia berbalik badan agar berhadapan dengan Zee.Wajah Zee tersenyum seakan sedang meledeknya.
" Pengen lihat rumahmu seperti apa," Zee meletakkan helem di kursi depan rumah, sikapnya santai, rambutnya dikibaskan seakan ingin rambutnya mekar.
DC membuka pintu, mengajak Zee masuk. Zee sama sekali tidak seperti orang yang baru pertama  masuk ke rumah DC. Ia langsung duduk di sofa seakan tahu sofanya terletak di sebelah kiri ruang tamu. DC menghidupkan lampu.
" Rumahku mirip kandang ayam. Istriku sedang di Taiwan, Aku malas rapi-rapi. Mau minum apa ?" tanya DC sekedar basa basi.
" Teh botol aja, yang dingin." Kata Zee.
DC ke dapur mengambil 2 botol Pucuk dingin, lalu kembali ke ruang tamu. Ia memberi Zee satu, satu lagi dibuka dan diteguknya, lalu ikut duduk.
" Aku merasa terhormat Kapten Zee bersedia datang ke rumahku. Â Apa Zeuss memintamu menyampaikan sesuatu ?" tanya DC.