Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya orang biasa

Wa/sms 0856 1273 502

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

BKT Eps 05

11 Maret 2021   07:38 Diperbarui: 11 Maret 2021   08:30 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Jam istirahat berdentang. Sesi pertama perdagangan berakhir. DC sedang hepi. Hari ini ia berhasil menjual saham CTRX yang dibelinya dua hari yang lalu dengan keuntungan 20 %. Dengan modal 250 juta ia mengantongi keuntungan 50 juta. Niatnya mendirikan perusahaan sirna dari benaknya.

" Ketawa-ketiwi sendirian. Bagi-bagi donk kalau banyak cuan," Dewi Not menggelindingkan kursinya mendekati meja DC. ( cuan = untung )

" Hanya cuan sedikit. Oke deh, kutraktir kamu makan siang."  DC merapikan meja. Dewi Not kembali ke tempatnya, menyambar tas, dan berdiri.

" Bawa satu mobil aja ya, biar hemat BBM," kata Dewi Not.

DC setuju. Terkadang ia merasa terjadi banyak pemborosan gara-gara setiap orang membawa mobil. Padahal satu mobil bisa diisi 4 sampai 7 orang dengan pembakaran BBM yang sama. Mereka menuju restoran terdekat agar tidak membuang waktu.

" Apa kasus baru yang kamu tangani?" tanya Dewi Not ketika mereka duduk bersama menunggu hidangan di antar di restoran Tarakan.

" Ini berkaitan dengan Halisti. Dia memintaku menjodohkan ibunya dengan seseorang supaya ibunya bahagia di hari tua. " celoteh DC, menyesap air putih sesuap.

" Anak muda sekarang mulai kurang menghargai jasa orang tua. Aku paham maksud terselubung di balik niatnya. Ia takut ibunya membebaninya jika ia menikah nanti. Anak muda sekarang ingin bebas, ogah hidup bersama orang tua atau mertua. "

" Itu pendapatmu?" tanya DC.

" Benar. Aku sering mendengar obrolan orangtua pasien yang kurawat. Mereka merasa dicampakkan anak-anaknya. Setelah menikah, anak-anak pindah atau membeli rumah sendiri. Setelah itu, satu tahun hanya berkunjung sekali pas Imlek. Kurang ajar gak anak semacam itu?" nada Dewi Not berang.

DC ketawa, mengangguk hanya untuk menyenangkan hati Dewi Not. Perubahan zaman tak bisa dibendung. Perubahan zaman berimbas pada perubahan perilaku kaum muda.

" Halisti ini kasusnya lain. Aku kemarin ke rumahnya, bertemu ibunya. Mereka sangat dekat. Hanya, persoalan akan timbul jika Halisti menemukan pria yang serius dengannya, lalu bertanya, siapa ayahmu? Halisti pasti kerepotan menjawab pertanyaan semacam itu. Kan risih kalau Listi harus menjawab ia anak single parent. Untuk itulah aku bersedia membantunya, menemukan seseorang, kalau bisa ayah biologisnya, meminta pria itu bertanggung jawab. Dan kalau gak bisa, aku akan mencarikan seorang pria yang akan kukenalkan pada ibunya agar, siapa tahu, terjadi kecocokan dan kemudian ibunya bersedia menikah dengan pria itu."

" Gut !" Puji Dewi Not. " Itu baru tugas seorang Dewa Cinta. Selama ini kamu malah dikejar-kejar pembunuh bayaran. Aku kurang setuju kamu terlalu dekat dengan Zeuss." Dewi Not mengemukan pendapatnya. Hidangan yang mereka pesan datang. DC mengisi nasi ke piringnya. Dewi Not melakukan hal yang sama.

" Kita punya keterbatasan, Dewi. Apa salahnya meminta bantuan Zeuss? Toch, dia membantu kita tampa pamrih."

" Sekarang sih tanpa pamrih. Siapa tahu suatu saat dia meminta balasan atas jasa yang dia berikan." Dewi Not mengambil udang masak asam-pedas. Itu menu kesukaannya. " Kita 'kan gak bisa membaca niat seseorang."

" Aku akan berhati-hati. Kalau bisa membatasi diri dari ketergantungan padanya. Ngomong-ngomong, kalau aku gagal mengorek siapa ayah biologis Halisti dari mulut ibunya, siapa pria yang harus kukenalkan pada ibunya ?"

" DK, " Dewi Not menjawab spontan.

DC ketawa hingga nasi hampir tersembur dari mulutnya. " Kenapa memilih DK?," tanya DC.

" Karena DK masih jomblo sampai sekarang. Kasihan dia hidup kesepian. Ini namanya simbiosis mutualisme, sama-sama saling membutuhkan." Dewi Not mengupas kulit udang dengan tangannya.

" Toni juga kesepian, kamu juga kesepian. Kenapa kalian berdua masih belum move on ?" tanya DC penasaran. Ia sudah dua tahun berusaha menjodohkan pasangan ini. Gagal melulu.

" Jangan mulai lagi, ya, DC. Aku bawa minyak angin 3 botol loh." Dewi Not melotot.

DC pura-pura ketakutan. " Aku curiga kamu membawa 3 botol bukan untuk melegakan hidung, melainkan untuk memandikan si unyil."

" Si Unyil ?" dahi Dewi Not berkerut 3 garis. " Siapa si Unyil ?"

" Si Unyil itu anak kecil yang agak penakut, suka bersembunyi di tempat gelap, terutama di,----"

" Segitiga hitammu, Hahahahaaa." Dewi Not ketawa heboh, senang bisa memotong omongan DC dengan telak.

" Darimana Dewi tahu segitigaku warnanya hitam? Apa Dewi tengah malam membongkar genteng kamarku  dan mengintip lemari pakaianku ?" DC melempar lirikan menantang.

Dewi Not bersikap jijik. Senyumnya masih memukau. " Waktu aku ke rumahmu bersama DS, ingat engga bau busuk yang kamu alami gara-gara pil buatan Baba. Jangan bilang sudah lupa. Itu baru 3 bulan yang lalu. Waktu itu kamu sibuk menangkis tuduhanku tentang bisul, kamu lupa menyimpan jemuranmu. Ada 3 kolor ireng di tali jemuran belakang rumahmu. Hahaha.... DS yang memberitahuku, katanya DC ternyata kolor ireng, bukan kolor ijo. Hahahahaha...." Tawa Dewi Not begitu heboh hingga beberapa pengunjung menatap ke arahnya. Dewi Not bersikap tak peduli.

DC malu ketahuan kolornya berwarna ireng. Ia menunduk. Dulu ia mengenakan segitiga bermerek Hing berwarna putih, kaos juga bermerek sama. Setelah Cherina berangkat ia pilih mengirim pakaian kotornya ke loundry. Cara itu praktis. Namun, ia takut tukang laundry mengetawai kolornya yang berwarna putih, yang entah kenapa selalu ada bercak kuning persis di tempat persembunyian si Unyil, bahkan di setiap celana dalam. Mau tak mau ia mencuci sendiri segitiganya dengan mesin cuci. Eh, bukannya menghilang, bercak kuning itu bertambah kuning, bahkan ada yang mendekati coklat. Mau tak mau ia ganti kolor yang berwarna hitam.

DC sudah menunduk hingga wajahnya nyaris menyentuh meja, Dewi Not masih belum mau berhenti ketawa. Terpaksa ia menggunakan trik licik. Ia menjatuhkan sendok, lalu jongkok untuk memungut sendok. Dewi Not lupa menutup lututnya. Setelah memungut sendok, DC duduk kembali seperti semula. Kali ini ia berani unjuk gigi.

" Cukup donk tawamu segitu aja. Kalau belum mau berhenti, nanti kuteriakkan warna segitigamu loh, biar semua pengunjung menatapmu dengan penuh hasrat, "

" Aku gak pernah jemur segitiga di luar, selalu di dalam kamar. Mana mungkin kamu mengintip warna segitigaku," nada Dewi Not meremehkan.

" Aku gak perlu ke rumahmu, atau bongkar genteng kamarmu, atau mengintai jemuranmu, aku hanya perlu menjatuhkan sendok, dan tadi sudah kulakukan." DC membesarkan matanya. " Apa perlu kuberitahu pengunjung warna segitigamu ,----" Belum habis DC bicara, sesuatu menyumbat mulutnya, membuat omongannya terhenti.

Dewi Not tahu ia kecolongan. Wajahnya pucat. Ia menutup kedua pahanya rapat-rapat. Tangannya bergerak secepat kilat menyambar ayam goreng dan dijejalkan ke mulut DC. Begitu berhasil, ia berdiri, menghilang dari hadapan DC.

DC mencabut paha ayam dari mulutnya, sayang kalau dibuang, ia mengokang paha ayam goreng itu dengan giginya sambil tersenyum. Ia tahu Dewi Not ke toilet. Ia menunggu.

Tak lama kemudian Dewi Not kembali.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun