Mohon tunggu...
Deri Bayu
Deri Bayu Mohon Tunggu... Atlet - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa aktif universitas airlangga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Macapat dalam Pandangan Masyarakat Jawa

15 Juni 2023   20:00 Diperbarui: 15 Juni 2023   20:02 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tembang macapat merupakan salah satu kesenian yang ada di pulau Jawa, pada awalnya tembang macapat ini menjadi media dakwah walisongo dalam mensyiarkan agama islam di Indonesia khususnya pulau Jawa. Syiar agama islam di Jawa yang menggunakan tembang atau kidung ini dipilih karena pada waktu itu masyarakat Jawa mempunyai kebiasaan menembang, apapun kegiatannya selalu diiringi dengan tembang-tembang yang nadanya khas dari masyarakat Jawa sendiri. Pada awalnya tembang macapat ini merupakan sebuah kesenian menembang yang diiri oleh suara gamelan, dengan pertimbangan yang sangat matang dari para walisongo dibentuklah tembang macapat, yang didalamnya terdapat makna tentang hidup beragama. Seiring berkembang dan tersebarnya tembang macapat keseluruh daerah Jawa, sehingga banyak masyarakat Jawa menjadikan tembang macapat ini sebagai ruhnya dalam menjalani kehidupan, tentu saja tanpa meninggalkan syari’at islam.

Melihat kondisi saat ini, dimana teknologi berkembang pesat atau yang bisa dimaksud tentang kemajuan zaman, anak-anak muda semakin melalaikan tentang bahasa dan budaya yang membentuknya, tanpa tahu menahu tentang apa yang terjadi pada waktu sebelumnya dan parahnya, anak muda sekarang menganggap remeh budaya yang terjadi hingga saatini. Melihat ciri khas orang Jawa yang memiliki tata krama yang begitu baik, kita harus tahu apa yang menjadi pengaruh budaya masyarakat Jawa yang begitu menjunjung tata krama tersebut. Tentu saja hal tentang tata krama pada masyarakat Jawa ini menjadi suatu nilai religi tersendiri yang menjadi ciri khas dan membudaya untuk masyarakat Jawa. Maka dari itu penelitian ini penting dikarenakan masih jarang yang menulis artikel tentang tembang macapat melalui sudut pandang ilmu linguistik antroplogi.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dan menggunakan teori kajian linguistik antropologi. Menurut Lafamane, antropologi linguistik merupakan gabungan antara antropologi atau ilmu budaya dengan ilmu cabang linguistik. Dalam jurnal atau artikel yang ditulisnya dikatakan bahwa ilmu antropologi linguistik membahas variasi dan penggunaan bahasa yang berhubungan dengan etika berbahasa, adat istiadat, perkembangan waktu, perbedaan tempat berlangsungnya komunikasi, dan lain sebagainya.

Mengutip dari jurnal lain yang ditulis oleh Suprata (2017:1), dijelaskan bahwa dalam antropologi linguistik, studi mengenai bahasa merupakan sumber budaya sedangkan berbicara atau mengujarkan serta menamai merupakan praktik budaya. Jika disambungkan dengan teori ini, maka penelitian ini merupakan penelitian pada praktik kebahasaan yang ada di masyarakat.

Menurut dua teori diatas pada intinya linguisitik antropologi merupakan ilmu yang menghubungkan antara bahasa dengan budaya. Pengertian budaya menurut Koentjaraningrat (1993:9), budaya memiliki 7 unsur yang bersifat universal dan semua unsur itu dapat ditemukan dalam kebudayaan bangsa yang tersebar di seluruh dunia. Ketujuh unsur budaya itu yakni sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.

Pada awalnya tembang macapat adalah trobosan para wali songo untuk menyebarkan ajaran islam, dimana pada saat itu tanah Jawa sudah dimasuki oleh agama Hindu, dan Budha. Pada saat itu juga masyarkat Jawa masih mempercayai hal-hal yang berbau mistik, maka dibentuklah tembang macapat ini agar ajaran agama Islam masuk secara halus kepada masyarakat Jawa tanpa melalui pertentangan yang ada. Tembang macapat sendiri pada dasarnya terdiri dari empat jenis tembang yaitu, tembang gedhe, tembang dolanan, tembang tengahan, dan tembang cilik. Tembang macapat juga masih dipakai untuk pementasan wayang, karawitan, dan lain sebagainya. Namun, tembang macapat mulai ditinggalkan untuk menjadi pedoman hidup masyarakat.

Setelah penulis membaca dan mengamati jurnal-jurnal terpercaya dan buku-buku pembahasan tembang macapat secara lanjut, maka penulis menemukan sebuah makna yang mendalam dari sebelas tembang macapat yang ada, makna yang ada dalam tembang macapat ini berhubungan erat dengan fase kehidupan manusia dari bayi sampai meninggal dunia. Yang didalam makna tersebut dibumbui dengan nilai-nilai ajaran agama islam, dan nilai norma-norma dalam menjalani kehidupan sebagai manusia. Makna dari tembang macapat yang memengaruhi tindak-tanduk masyarakat Jawa pada khususnya. Makna-makna yang terdapat di dalam tembang macapat dijelaskan sebagai berikut:

Yang pertama mijil/wijil yang mempunyai arti keluar, kata keluar dalam tembang macapat ini merupakan kerja, dimana mijil ini memiliki arti kultural yang menggambarkan keluar atau lahirnya seorang bayi yang baru keluar dari rahim ibunya dan masih suci, bayi yang baru lahir itu diibaratkan seperti kertas putih yang belum tergores tinta ( belum mempunyai dosa).

Yang kedua yaitu tembang kinanthi yang berasal dari kata kanti atau tuntun, makna leksikal kata kinanthi termasuk dalam kata verba yang memiliki arti menuntun. Sedangkan makna kulturalnya yaitu seorang anak yang harus dibimbing orang tuanya untuk mengenal hal yang baik dan hal yang buruk sehingga anak tersebut mempunyai budi pekerti yang luhur.

Tembang macapat yang ketiga yaitu tebang Sinom yang memiliki arti leksikal, pucuk yang bersemi dan tumbuh, sederhananya yaitu masa muda, kata tumbuh disini merupakan suatu kata verba. Secara makna kulturalnya yaitu seseorang yang memasuki masa remaja, dimana pada saat itu sudah mulai pubertas, mencari ilmu, dan sudah memiliki kewajiban untuk memilah dan memilih hal yang baik dan hal yang buruk.

Tembang yang keempat yaitu tembang Asmarandana, yang berasal dari kata asmara(cinta) yang digabungkan dengan dahana(api), secara keseluruhan berarti asmara yang berapi-api. Kata tersebut juga termasuk dalam kata sifat(adjektiva). Secara kultural menggambarkan seseorang yang sudah memasuki usia untuk menikah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun