Berhari- hari Aldi berusaha menghilangkan bayangan kakek Tosan dari benaknya. Difokuskan pikiran untuk mengedit. Untunglah pikirannya cepat larut dalam cerita yang naskahnya sedang dieditnya. Sedang asik ia bekerja, sebuah kursi bergeser ke sampingnya. Seseorang duduk. Aldi mengangkat wajahnya.
" Kamu membuatku penasaran. Hari ini Jumat. Apa reaksi kakek Tosan saat kamu mengantar obat untuknya ?" tanya Jean.
" Cerita basi buat apa diungkit ?" elak Aldi.
" Jangan sinis padaku. Kamu sudah kuberi pekerjaan tambahan, yang berefek pada tambahan penghasilan, membuat-malam malammu lebih cepat berlalu, bukannya berterima kasih, malah semakin lama semakin dingin padaku. Kamu kan tahu aku suka padamu." Jean mengulurkan tangannya, menyentuh lengan Aldi yang sedang memegang naskah.
Semakin lama Jean semakin berani, semakin terang terangan mendekatinya. Apa sudah putus asa dengan jombo berkepala 3 yang bertengger di catatan usianya ? Nama Della dan Widya bermain di benak Aldi. Aldi menepis tangan Jean dengan hati-hati.
" Aku berterima kasih padamu. Untuk saat ini aku berkonsentrasi mencapai target demi adikku. Semalam aku mengantar obat, dan diusir." Aldi heran, kenapa Jean seakan menyimak semua percakapan yang berhubungan dengan apa yang dialaminya di rumahnya?
" Kudengar kakek itu anti sosial. Ternyata betul omongan orang. Apa reaksimu ?"
" Pulang.Tidur."
" Bisa tidur ?"
" Bisa donk. Aku dimintai pertolongan, sudah kulaksanakan. Soal reaksi kakek Oyong itu bukan urusanku."
Kepala Jean terangguk-angguk. " Alangkah enaknya jadi istrimu. Orang yang tak banyak pikiran,"
Salah, aku bohong. Semalam aku tak bisa tidur. Aku hanya malas direcoki wanita kesepian sepertimu, oceh Aldi dalam hati.
" Besok kerja setengah hari. Aku ingin mentraktirmu makan siang. Gimana, Al ?"
Sebetulnya Aldi ingin menolak. Ia pura pura berpikir. " Besok siang aku ingin belanja,"
" Sekalian deh. Setelah makan siang kutemani kamu berbelanja. Kamu masih setia berbelanja di Plaza Hayam Wuruk, kan ?"
Huh, mau mengelak pun tidak diberi kesempatan. Mau tak mau Aldi mengangguk.
Dua sosok bayangan duduk di atas genteng. Satu bercadar dan satu tidak. Yang tidak bercadar dirangkul yang bercadar.
" Aku sedih, Meilan. Aku takut kakek meninggal. Kakek menolak obat yang dibawa si Kencing di Botol,"
" Apa yang terjadi? Maaf, aku tak berani sering mengekorinya. |Aku takut dia curiga, " Ucap yang bercadar.
" Kakek membentaknya, mengusirnya. Obat yang dibawanya dihempas ke dinding. Aku ingin menangkap, tapi terlambat. Huhuhu... apa yang harus kulakukan demi menyelamatkan kakek, Meilan ?"
Meilan mengelus rambut temannya, " Dia membelikan obat kakekmu ?"
" Iya, tapi kakek menolak meminumnya !" suara Melli kesal.
" Baik juga dia, "
" Kenapa kamu memujinya ! Dia penakut ! Dia tak pandai membujuk kakek ! Kalau kakek meninggal, kucongkel matanya !"
Meilan geleng-geleng kepala mendengar ancaman temannya. Â " Jangan donk. Kasihan kalau matanya tinggal sebelah nanti dia tak bisa bekerja." Suara Meilan memohon.
" Apa sih yang dibacanya setiap malam? "
" Naskah novel. Dia bekerja di penerbit buku. Editor. Pekerjaannya membetulkan naskah yang akan diterbitkan."
" Kamu mengekorinya hingga ke kantor ?!" nada Melli tak percaya.
Meilan mengangguk. " Aku penasaran, ingin membuktikan omongannya jujur atau tidak. Aku mengintip apa yang dikerjakannya."
" Siang bolong kamu keluar?" tanya Melli dengan nada tak percaya. Matanya melotot, seakan temannya melakukan hal yang membahayakan keselamatan mereka.
Meilan mengangguk. " Sekretaris bosnya naksir dia." mata Meilan menerawang, walau tertutup cadar  mata itu berbinar.
" Kamu membahayakan nyawamu, Meilan. Aku sungguh tak percaya kamu keluar di siang bolong demi dia!"
" Tidak. Aku bersembunyi di kantornya sejak malam, mengintai kegiatannya hingga malam berikutnya barulah pulang kemari,"
" Gila ! Kamu mempertaruhkan keselamatanmu. Bagaimana kalau kepergok? Kamu membahayakan persahabatan kita, Meilan !" suara Melli menegur.
" Di kantornya gak rame kok, hanya ada bos yang jarang berada di kantor, sekretarisnya namanya Jean, sok berkuasa. Kulihat  setiap hari dia mengamati Aldi, berharap Aldi meliriknya. Sayangnya Aldi kalau bekerja serius banget. Wuih... pokoknya keren banget deh. Berani nyuekin bosnya, tapi ramah dan baik sama orang lain." suara Meilan mirip orang fly.
" Segitunya kamu mengamatinya ?!" nada Melli tak senang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H