Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

no

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

KL Nai 02: Pembantuku 33

28 September 2017   23:24 Diperbarui: 28 September 2017   23:36 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

" Sepuluh dukun sudah kuundang, 11 paranormal sudah kumintai pertolongan, hasilnya nihil. Barulah aku teringat kamu, Jo...." Ramli tersenyum lebar, bahkan mirip nyengir.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Tanpa kusadari jalanan sudah sepi. Kami sudah keluar dari kota dan sekarang berada di jalan raya  yang di kiri kanannya  terdapat kebun sawit yang tak putus putus jika dilihat dari jendela mobil yang sedang berjalan. Diam diam aku mengumpat, sialan ! Kenapa aku terjebak omongan masa laluku? Mantera yang diajarkan Nguyen Tinh itu bahkan aku sudah lupa. Lagipula itu mantera untuk mengusir Nangnak. Mana mungkin Kuntilanak takut terhadap mantera berbahasa Thailand?

" Kami, konsorsium yang ingin membangun kilang, sepakat akan memberi 100 juta kepada orang yang berhasil menyuruh Kuntilanak itu pergi dari tanah kami. " sambung Ramli sambil tetap nyengir.

" Mau disuruh pergi kemana, Don ?" tanyaku bingung. Aku lebih suka memanggilnya Don ketimbang Ram atau Ramli. Terkesan lebih akrab dan spesial. Ramli juga memilih memanggilku Jo ketimbang panggilan Fer atau Ferdi.

" Ada berbagai cerita yang beredar, Jo. Menurut omongan orang, Kuntilanak itu haus darah, suka mencakar, wajahnya seram, ada taringnya, dadanya kelihatan rusuknya, suka minum darah, makan daging manusia, matanya bolong, bahkan ada yang mengatakan Kuntilanak itu mirip leak, ada kepala tanpa ada badan, kemana mana meyeret ususnya terbang bersamanya. "

Ramli bercerita dengan santai, aku merasa bulu kudukku merinding mendengar deskripsinya. Bahkan tiba tiba merasa sesak kencing.  Duh, di tengah kebun sawit begini sepi mau kencing dimana? Apa aku harus pipis di balik pohon sawit sambil diketawai Ramli? Usiaku sebetulnya belum genap 30, 3 bulan lagi baru genap 30 tahun, sedangkan Ramli sudah 41. Kenapa aku harus ketakutan? Bukankah seluruh biayaku kemari ditanggung Ramli. Jika aku pura pura mengusir Kuntilanak itu, pura pura gagal, aku tak rugi apa apa, hanya rugi waktu. Seratus juta itu memang menggiurkan, tapi aku lebih sayang nyawaku. Oke, aku pura pura saja berusaha menolongnya. Semoga Ramli gampang ditipu. Dengan keputusan demikian semangatku timbul kembali.

" Dukun dukun yang kamu undang itu setelah gagal ngomong apa sama kamu ?" tanyaku.

" Tidak ngomong apa apa. Kukasi upah sekedarnya untuk ongkos mereka pulang." Wajah Ramli biasa biasa saja. Tidak menunjukkan ketakutan atau kecewa. Aku tak percaya omongannya. Masak sih sudah dikejar kejar kuntilanak hanya mendapat upah sekedarnya ? Tapi, kalau dia ngomong begitu, aku bisa apa ?

Perjalanan itu ternyata memakan waktu 2 jam. Itu artinya 120 km dari bandara tempat Kalstar mendarat karena kulihat Sopir selalu mempertahankan kecepatan 60 km. Perlahan lahan kebun sawit menghilang, berganti dengan kebun aneka tanaman dan rumah penduduk. Mobil berbelok ke sebuah rumah yang besar. Sederet truk parkir di halaman. Ini lebih mirip Pool Penyewaan Truk ketimbang rumah tempat tinggal.

Aku keluar bersama Ramli. Supir membawa tasku dan ditaruh di teras rumah yang mempunyai serambi yang luas. Seorang wanita cantik menyambutku. Aku pernah bertemu istri Ramli dua kali kala di Jakarta. Namanya aku sudah lupa. Entah Anisa atau Anita.

" Hai, Jo ! Masih sendirian nih ? Kupikir kamu datang bersama istrimu." Sapa istri Ramli heboh. Aku paling engga suka jika ditanyai soal pasangan. Aku masih betah lajang.

" Tampang pasaran gini gak laku, kak " jawabku seenaknya.

" Kukenalin deh dengan pembantuku yang cakep, nanti kamu bisa langsung bawa pulang ke Jakarta." Istri Ramli terkekeh. Aku sudah ingat namanya: Tika Parwati. Menghina sekali, umpatku dalam hati. Masa sih aku disuruh menikahi pembantunya ! Mana batu krikil ! Aku ingin memasukkan ke kutangnya biar Tika kegelian kayak diraba suaminya.

" Kalau pembantu mbak Tika S-1, boleh deh..." kataku menahan rasa tersinggung.

" S-3 malah, S-1 mah kecil !" Tika menjentikkan ujung jarinya.

Aku jadi penasaran seperti apa tampang pembantunya yang S-3, apakah secakep Tika Panggabean ? Ngomong ngomong aku ngefans sama Tika panggabean, soalnya orangnya lucu. Aku rasa dunia ini lebih membutuhkan orang ceria ketimbang orang cemberut. Ramli mengedipi istrinya, mengajakku masuk ke ruang tamu. Ruang tamunya cukup berkelas. Lantainya granit, bukan kramik. Granitnya ukuran 1 x 1 M, bukan 40 x 40 cm. banyak ornamen dan hiasan disana sini, membuat mata lumayan enak oleh banjir warna warni. Tika ke dapur. Aku duduk selonjoran sambil tatap sana sini. 

Tak lama kemudian seorang wanita muncul sambil membawa nampan. Aku kaget melihat wanita itu. Dalam bayanganku, pembantu biasanya berpakaian lusuh, wajah kucel akibat kecapean, agak berkeringat akibat disuruh kesana sini,  tapi yang muncul ini bukan wanita, melainkan gadis yang kutebak berusia sekitar 20 tahun, berwajah bersih dan ceria, bahkan memberi salam dengan ramah. Mana mungkin gadis 20 tahun S-3? Ada saja saja Tika Parwati ini !

" Nah, tercengang melihat kecantikan pembantuku, bukan ! " Tuduh Tika yang muncul tiba tiba di ruang tamu. Tangannya membawa sebongkah keik hitam, mungkin brownies kukus. " Namanya Ken. " Tambah Tika.

Aku malu seakan akan maling tertangkap tangan. Ken langsung masuk ke dapur. " Aku buka warnet, kak Tika. Setiap hari banyak cewe cakep  online di warnetku. Dari yang skornya 9 hingga 4, aku sudah tak mudah tercengang" Aku berusaha membela diri supaya tidak semakin terpuruk dimata Tika Parwati. Sejujurnya harus kuakui aku kaget melihat kecantikan pembantunya. Gadis tadi kecantikannya alami, dan sikapnya sangat halus, tidak mirip gadis kota yang suka bersolek dan siap diajak chat seharian.

Tika tidak menyerangku lagi, setelah meletakkan piring berisi keik, ia tersenyum mistrius dan menghilang ke dapur.  Aku ngobrol dengan Ramli. Obrolan yang ringan ringan, tentang indeks yang sudah membaik dan ekspor minyak sawit yang kian menjadi primadona.

Jam 1 Ramli mengajakku makan. Tidak kulihat tampang Tika, tidak juga Ken. Anak anak Ramli belum pulang sekolah. Kami makan hanya berdua. Setelah makan, Ramli menyuruhku istirahat. Katanya nanti sore ia akan mengantarku ke lokasi pabrik. Ken muncul untuk menunjukkan kamarku. Tasku ikut dibawanya.

Kamar yang disediakan untukku luas dan lega, tidak mirip kamar di rumahku yang ukurannya 3 x 3,5 M, yang hanya bisa diisi satu ranjang dobel dan sebuah lemari pakaian. Kamar ini ukurannya 5 x 5 meter ! ranjang dobel terletak disudut, sebuah meja  kerja, lemari pakaiaan, ada TV 32 inci komplit dengan audio videonya. Kamar tamu semewah ini? Tampaknya Ramli sukses jadi juragan sawit di kota kecil ini. segala kebutuhan tamu disediakan komplit hingga mirip hotel bintang 2.  Setelah meletakkan tas, Ken langsung keluar tanpa mengucapkan sepatah kalimat pun !

Aku berbaring di ranjang. Kekenyangan membuat kantuk menyerangku dengan hebat, dan sukses membuatku terlena selama  2 jam.

..........

Aku terbangun sekitar jam 4. Agak pangling dimana aku berada. Setelah berpikir sejenak, barulah aku ingat aku sedang berada di  rumah Ramli. Aku mencuci muka dan berjalan keluar. Ramli sedang nonton TV di ruang tamu. Dua anak menemaninya. Ramli mengajari anak-anaknya memanggilku Om Jo. Yang besar lelaki berusia sekitar 12 tahun, bernama Harri dan yang kecil berusia sekitar 6 tahun, cewe, namanya Mita. Ken muncul dengan segelas kopi hitam. Aku menebak rasanya pahit, ternyata salah. Rasanya manis pas pasan. Setelah minum, Ramli mengajakku ke lokasi pabrik. Tampaknya ia tak sabar ingin menunjukkan tempat tinggal kuntilanak itu kepadaku.

Kali ini Ramli menyetir sendiri, dan kelajuannya 80 km perjam. Lokasi pabrik ternyata jauh dari rumah Ramli. Hampir 1 jam barulah kami tiba. Lokasinya strategis, terletak tak jauh dari jalan besar, dan ada sebuah sungai besar di ujung tanah itu. Konsorsium yang ingin membangun kilang pasti mengincar lokasi ini karena; bahan baku akan diangkut dengan truk melalui jalan darat, dan hasil produksi di kapalkan untuk diekspor melalui sungai. Pintar ! Pujiku kepada para investor.

Untuk masuk ke lokasi itu, mobil harus masuk ke sebuah jalan kecil yang  belum diaspal. Ramli memarkir mobil di tempat yang sudah dibabat rumputnya. Ia turun sambil memandang kesana sini seakan akan menikmati pemandangan.

" Dulu daerah ini merupakan tempat tinggal suka Mayak. Suku minoritas yang menyempal dari Suku Dayak. " Ramli menjelaskan seakan akan ia dosen Antropologi.  Aku hanya menggumankan kata oh untuk menanggapi. Mataku tertuju ke semak semak. Dimana tempat sang Kunti tinggal ? Dimana bangunan yang diceritakan Ramli? Seperti apa bentuknya? Rumput baru dibabat sekitar 2 hektar, menurut Ramli, tanah itu luasnya 10 hektar.

" Apa sebuah pabrik membutuhkan lahan seluas ini ? " tanyaku.

" Sebetulnya tidak. Hanya, jika memikirkan kedepannya akan memperluas kilang, tidak perlu mencari lahan di tempat lain.  "

"Kurasa 5 hektar cukup untuk membangun sebuah kilang, kamu tak perlu mengganggu tempat tinggal si Kunti."

" Sialnya, si Kunti justru memilih sarang di tempat yang paling cocok untuk mendirikan kilang."

Aku bukan orang Jakarta. Dulu aku lahir di Riau, pernah tinggal 3 tahun di Dumai untuk menamatkan SMP, setelah itu melanjutkan SMA ke Pekanbaru sebelum hijrah kuliah ke Jakarta dan bekerja di Taiwan.

" Pernah mendengar Kilang BBM Putri Tujuh, Don ?" tanyaku tiba tiba.

Bersam(a) bung, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun