Kamu tahu apa yang dikangeni sih rantauan?
Keluarga? Jelas ini adalah urutan pertama
Selain itu adalah teman masa kecil, lingkungan dan kulinernya (yang jelas masakan rumahan yg dimasak langsung oleh chef sejati sepanjang masa yaitu sih emak)
Kemarin saya baru saja selesai menonton film keluaran tahun 2011 yang di sutradarai oleh mas Hanung Bramantyo sebuah film tentang anak daerah yang begitu ingin mengubah status sosialnya melalui pendidikan
Awalnya saya enggan menonton film bertemakan drama apalagi yang berhubungan dengan keluarga, why? Because sebagai anak rantau yang sering mengalami home sick tanpa sebab film genre ini justru menambah sakit seperti api yang disiram bensin.... Duar meledak
Selain itu juga film ini merupakan film yang dibiayai Pemprov Sumsel. Tujuannya dari awal jelas, propaganda untuk daerah Palembang yang hendak menggelar hajat SEA Games. Berangkat dari opini positif dan sinisme.
Tapi karena penasaran apalagi total bintang yang berjumlah 10 dari review penonton di salah satu situs menandakan bahwa film ini berbobot
Dengan judul yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris yaitu Wind Chaser (Pengejar angin) film ini dibintangi Qausar yang kala itu adalah aktor pendatang baru yang belum memiliki pengalaman sebagai pemeran utama berhasil memerankan Dapunta dengan baik (pantas saja dia meraih penghargaan atas aktingnya ini)
Selain ceritanya yang penuh emosional (ingat yah emosional itu bukan cuma tentang amarah tapi juga perasaan sedih, gembira, semangat dan lain-lain) adalah lokasi syutingnya di Sumatera Selatan khususnya Muara Enim, Lahat, Pagar alam, Palembang.
Kota ini adalah kota kelahiran orangtua saya yaitu ayah (beliau lahir dan menghabiskan masa kecil disini tapi tidak lama setelah itu keluarga ayah pindah ke Lubuklinggau yang jaraknya tidak jauh)
Penulis skenario abang Ben Sihombing benar-benar menulis cerita yang mirip dengan kehidupan masyarakat sehari-hari sehingga saya yang asli anak daerah pun manggut-manggut karena setuju.
Para aktor dan aktris senior sebagai peran pendukung pun tak kalah hebat dalam memerankan karakter masing-masing
Karakter Bapang (panggilan Ayah bahasa Lahat) Dapun yang diperankan oleh Matias Muchus dengan watak keras kepala dan egois tapi sebenarnya bertanggung jawab dan sayang terhadap keluarga (jujur saat menontonnya sambil berseru dalam hati "sama seperti ayah di rumah")
Sang ibu diperankan Wanda Hamidah sebagai sosok yang lemah dan sering sakit-sakitan sering menyemangati menjadi motivasi Dapun mengejar cita-citanya
Selain itu ada Lukman Sardi sebagai Pak Damar guru kelas Dapun dan Pak Pelatih Ferdi yang keduanya membuka jalan untuk Dapun agar ke Jepang dan berkuliah
Selain ceritanya yang banyak menyampaikan pesan moral di film ini banyak menampilkan keindahan alam di Lahat seperti gunung telunjuk dan air terjun curup Tenang.
Dialog percakapannya pun memakai dialek yang kental yang terkenal dengan sebutan “bahasa besemah” bagi yang tidak mengerti disediakan terjemahan dibagian bawah dan juga ditampilakan perumahan penduduk masih asli yaitu rumah panggung dari kayu dengan halaman luas ditumbuhi berbagai tanaman tanpa dibatasi pagar dan tembok semen yang tinggi seperti di kota .....
Film ini seperti mesin waktu karena membuat diri ini seakan kembali ke masa lalu (flash back)
Dan aku menulis ini di waktu duha (pagi hari sebelum Zuhur) sambil menyeruput secangkir kopi instan yang ku seduh di kamar kost di sudut kota Jogja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H