Mohon tunggu...
Derby Asmaningrum
Derby Asmaningrum Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu-ibu biasa

Sedang tinggal di negeri orang. Pernah bekerja sebagai pramugari di maskapai asing. Lulusan S1 Fikom Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Begini Rasanya Berada dalam Balutan Seragam Pramugari

3 Maret 2022   02:05 Diperbarui: 19 Mei 2022   14:13 2927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pramugari dan seragamnya (cntraveler.com)

Saya termasuk makhluk yang memakai seragam kala mencari uang. Ini sepenggal kisah zaman dahulu ketika saya masih bekerja sebagai awak kabin di sebuah maskapai negara Singapura.

Bagi perusahaan penerbangan, seragam pramugari merupakan sebuah kebanggaan, alat untuk mengiklankan, membentuk dan memperkuat citra maskapai, sebagai tanda pengenal, pembeda maskapai satu dengan lainnya. 

Terkadang seragam pramugari juga ikut menampilkan ciri khas negara asal terlebih jika maskapainya berpredikat sebagai national flag carrier, entah itu bentuk seragam atau ragam aksesorisnya. 

Warna seragam pun biasanya bertalian dengan warna pesawat atau setidaknya ada sepercik warna seragam yang bersentuhan dengan warna utama pesawat atau logo maskapai menjadikan penampilan pramugari dan pesawatnya serasi.

Meski tiap airline berlomba menampilkan seragam yang terlihat chic, elegan, casual atau lainnya namun yang terpenting seragam sebuah maskapai haruslah 'luwes', bisa diajak bekerja sama, nggak bikin ribet ketika berhadapan dengan situasi darurat, desainnya harus mendukung, tidak menghambat gerak pramugari dalam momen-momen proses evakuasi baik itu di darat (crash landing) atau di laut (ditching). Keselamatan selalu menjadi yang utama. Detik demi detik berharga.

Seragam maskapai tempat saya bekerja bernama Sarong Kebaya. Modelnya hingga kini tidak pernah diganti sejak dirancang tahun 1972 oleh desainer Prancis Pierre Balmain yang membuat sang seragam melekat menjadi ikon maskapai. 

Wujudnya bisa dibilang sangat sederhana, cara pakainya gampang dan cepat, tanpa aksesoris, hanya atasan dengan leher berbentuk "U", penutupnya berupa resleting di tengah-tengah dan bawahan berupa rok kebaya panjang dengan belahan di depan bagian tengah, resletingnya di samping kiri, keuntungan buat saya yang kidal hehe. 

Sebuah desain seragam yang super praktis, cocok untuk airline saya yang kerjaan pramugarinya bejibun, padat bukan main, ngos-ngosan dari sebelum boarding hingga setelah landing. 

Dulu ketika saya mengikuti tes masuk pramugari, jika lolos terus, pada tahap akhir yang membuat saya lumayan kaget, kami diminta memakai seragam dan jalan bolak-balik untuk dilihat pantas tidaknya berada di balik seragam, memanggul nama besar dan citra maskapai. 

Dan nggak sembarangan juga, meski dirasa pantas, jika si pelamar punya tato yang terlihat misalnya di area leher maka balik kanan menuju pintu keluar menjadi solusinya. 

Ketika mulai menjalani training terbang dengan status sebagai kru tambahan (supernumerary crew) hingga resmi berstatus pramugari, secara berkala kami diberi 4 pasang kebaya yang dikerjakan oleh sekelompok penjahit profesional ditunjuk khusus oleh maskapai, tempatnya berada di bilangan Orchard. Satu pasang wajib disimpan di cabin bag sebagai seragam cadangan. 

Seragam juga wajib dijaga kecerahan warnanya karena jika sudah memudar bak rasa cinta yang perlahan kelar, kru senior takkan segan-segan menegur yang membuat kami harus meminta lagi seragam baru secara online lalu datang menemui penjahitnya. 

Sepaket dengan kebaya tadi, kami juga disediakan satu buah tas kerja berbentuk tas selempang berwarna biru, satu mantel musim dingin yang panjangnya selutut berwarna biru marine beserta pasangannya sebuah scarf putih yang di tiap sisinya lagi-lagi berwarna biru marine yang memang merupakan warna dominan maskapai. 

Warna lainnya adalah gold dan kuning kunyit yang dapat dilihat membentang di sepanjang badan pesawat dan juga nampak pada logo maskapai di ekornya.

 Lalu ada alas kaki yang terdiri dari 2 pasang sepatu (safety shoes) dan 4 pasang sandal. Safety shoes tadi harus dipakai selagi boarding, take-off dan landing. 

Maskapai tidak menyediakan cabin bag dan cargo bag, jadi kami para awak kabin harus cari, beli sendiri dengan warna-warna netral sebagai patokannya namun biasanya semakin senior seorang pramugari maka warna koper-kopernya akan lebih menantang misalnya pink ngejreng.

Nasi lemak dan rombongan penari

Bekerja memakai seragam merupakan keuntungan dan kenyamanan buat saya. Saya nggak perlu bingung mikirin besok mau pakai baju apa buat kerja, terhindar dari pusing ketika harus memelototi isi lemari untuk melaksanakan ritual mix and match. 

Nggak bakal repot karena pakai seragam sudah pasti matching! 

Palingan repotnya ketika mau terbang besok pagi-pagi buta tapi malamnya seragam belum kering gara-gara pramugarinya males dan lupa nyuci, hihihi...

Seragam sudah pasti menjadi buah karya maskapai di mana ada tim sukses di belakang panggung yang mendesain dan mengeksekusinya dengan gemilang. 

Dan ketika saya dan tim terbang berjalan beriringan untuk menunaikan tugas, membawa nama dan pamor maskapai melalui seragam yang kami kenakan, tentulah ada rasa bangga yang menyelinap. Meski begitu, sensasi love and hate sama kerjaan kerap menggerayangi. 

Jika rocker juga manusia punya rasa punya hati seperti yang diteriakkan Candil Seurieus, maka saya juga sama. 

Biasanya jika sudah terlalu jenuh, capek, sasarannya adalah seragam yang tak bersalah menatap bisu dari gantungan baju. Males banget ngeliatnya! 

Terkadang ketika kebagian destinasi terbang yang profil penumpangnya demanding atau melihat daftar nama-nama kolega dalam tim terbang yang bereputasi judes dan nagging apalagi jika itu long flight 12 jam, uuuhh... sudah pasti bikin nggak mood duluan, pas pakai seragam rasanya mendadak galau, mendadak ngantuk, mendadak lemes, pengennya bolos aja pura-pura sakit, hihihi... 

Di saat mengenakan pakaian dinas dan tampil di depan publik kami juga harus tahu diri mematuhi peraturan tak tertulis yang kebanyakan didapat dari para senior di antaranya tidak boleh berjalan sembari menelpon, kalau sudah nggak tahan mau menelpon maka harus minggir bentar, mencari pojokan yang tidak begitu terlihat publik. 

Kami juga tidak boleh ngobrol keras-keras, pecicilan, ketawa-ketiwi apalagi ketawa ngakak, minum dari botol atau kaleng tidak boleh dikokop, harus dituang dahulu ke gelas atau pakai sedotan jika memang mau menikmati langsung dari kaleng atau botolnya, berjalan seelegan mungkin (ini diajarkan ketika training), tidak seradak-seruduk atau bahkan lari dan masih banyak lagi. 

Sepotong cerita, pernah ketika sedang ngebut menyelesaikan ground duties dan tugas terakhir saya yaitu mengecek kabin belum sempat terlaksana, ground staff dengan senyum sibuknya ternyata sudah mengejar-ngejar untuk boarding karena waktu yang begitu mepet. 

Akhirnya jiwa rock n' roll saya yang sedang ngorok pun bangun dari tidurnya. Terpaksa agar cepat, saya angkat rok hingga selutut biar bisa setengah berlari untuk mengecek kabin. Biarlah, hilang sudah keanggunan, pikir saya kala itu sambil cekikikan dalam hati, hihihi. 

Untungnya saat itu saya kerja di kelas ekonomi AFT cabin (bagian ekor pesawat) jadi luput dari pandangan para kolega dan penumpang yang satu per satu mulai muncul. Eeh, jangan bilang-bilang ya...

Untuk saya, seragam bisa menjadi penjaga berat badan karena saya paling males liat timbangan apalagi harus memonitor BMI (Body Mass Index) agar tetap proporsional seperti yang diserukan sang instruktur pada masa training. 

Peraturan maskapai, jika seragam sudah terlihat brutally ketat apalagi sampai terkesan provokatif, maka si pramugari akan ditegur bahkan bisa sampai dipanggil ke kantor jika ngeyel. 

Kami memang harus menjaga berat badan agar tetap terlihat pas dan nyaman berada di balik seragam, tidak terlalu ketat yang bikin susah bernafas dan tidak terlalu kelonggaran yang bisa bikin roknya belok kiri banting kanan saingan sama bajaj yang sedang ngeles, penampilan jadinya tidak rapi. 

Buat saya sih gampang, kalau seragam sudah terasa sempit berarti makan rakus harus saya kurangi dengan berat hati. 

Sebaliknya, kalau seragam terasa sedikit longgar maka saya bakal makan serakus-rakusnya, segirang-girangnya, secepat-cepatnya memburu chicken rice, nasi goreng ikan bilis, ayam penyet atau nasi lemak yang menjadi makanan favorit saya di Singapura. Enaaakkk... Aduh, jadi ngilerrr...

Seragam juga berperan sebagai penanda rank senioritas. Di airline saya, seragam warna biru adalah tingkat paling bawah dengan sebutan Flight Stewardess meski pemakainya sudah 8 hingga 10 tahun terbang, lalu menuju warna hijau dengan sebutan Leading Stewardess, naik ke warna merah sebagai Chief Stewardess, berujung di tahta In-Flight Supervisor yang memakai warna ungu. 

Saya dulu hanya sampai warna biru, mau naik ke warna hijau tapi kebetulan pewarna hijaunya habis jadi terpaksa masih biru dulu... 

Nah dengan rank senioritas ini, kami-kami yang biru biasanya ngobrol a.k.a ngegosip cukup dengan menyebut warna saja, misalnya, "Eh, si dia masih biru atau udah ijo?" atau "Iih, gue takut, deh terbang sama si merah, galak banget, bo!" Begitchu..

Kalau saya ingat-ingat, ada juga kejadian menarik berkenaan dengan seragam. Pernah waktu itu di satu hotel di sebuah negeri jauh yang tak biasa, ketika mau check-in, beberapa bule terperangah melihat kami yang berkebaya dan berkonde dengan wajah masih full make-up masuk ke lobby. 

Tanpa ragu mereka menghampiri lalu dengan antusiasnya bertanya kami ini grup tari dari negara mana, untungnya nggak sekalian minta foto bareng, hihihi... 

Kayaknya mata mereka belum fasih melihat seragam maskapai dari Asia khususnya Asia Tenggara dan kebetulan juga para pilot menginap di hotel yang berbeda jadi para bule itu tidak menyadari bahwa kami adalah airline crew. 

Mengenakan seragam juga tidak sekedar melilitkan kain di badan namun ada kerjaan lanjutan yaitu melengkapinya dengan polesan warna make-up dan tata rambut yang seragam yang biasanya semua itu malah bikin penumpang keder, sering salah dan bingung yang mana pramugari S yang mana pramugari Q karena mereka bilang wajah kami sama semua...

Kenangan. Berfoto di Pudong International Airport (PVG), Shanghai, China sebelum bertugas kembali ke Singapura (foto: dok. Derby Asmaningrum)
Kenangan. Berfoto di Pudong International Airport (PVG), Shanghai, China sebelum bertugas kembali ke Singapura (foto: dok. Derby Asmaningrum)

Ada enak, ada manyun, ada kejadian menarik, lalu adakah yang bikin sedih? Ada. Sebuah perasaan campur aduk sih sebetulnya, yaitu ketika menyerahkan surat resign. Itu berarti mencopot seragam, menyerahkan kartu Singapore work permit dan employee ID card. 

Nah yang terakhir itu berlaku juga sebagai kartu diskon apalagi kalau belanja di airport, jadi kebayang dong betapa berat hati ini melepaskan hihihi... 

Tentu saja seragam yang sudah dipakai boleh disimpan, menjadikannya sebuah kenangan, keharuan bahkan sebongkah kerinduan tersendiri pernah terbang di atas kokohnya kepak sayap maskapai terbaik dunia, melangkah jauh, mengudara tinggi dengan seragamnya yang ikonik. 

Ia akan menjadi sebuah kisah, terserah orang mau bilang apa tentang profesi pramugari, tetap hal itu menjadi salah satu chapter hidup yang kelak dengan bangga akan saya ceritakan kepada anak cucu...


Have a safe flight! 

=============

*Saya belum mendapat izin dari para mantan kolega yang terpampang di foto. Demi menjaga privacy, wajah mereka saya samarkan.

Topik pilihan : Kerja Pakai Seragam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun