"Sudah jam tujuh, Rin. Sebaiknya kuantar kau pulang sekarang. Aku tidak mau berperang dengan Papamu. Bisa batal nanti nonton konser tanggal sembilan." Roy berkata malam itu ketika ia menyudahi latihan bersama teman-temannya di sebuah studio musik di pinggiran kota. Aku mengangguk lalu membereskan majalah-majalah musik yang sedari tadi kubaca.
"Papaku tidak memberi izin, Roy. Dia takut rusuh seperti konser heavy metal dua minggu yang lalu itu." ucapku kemudian sedikit kesal.Â
"Sudah kuduga." sahutnya pendek sembari mengambilkan jaket milikku yang tergantung di balik pintu. Aku memakainya lalu melangkah keluar dengan gontai, merasa tidak ingin pulang ke rumah karena harus bertemu Papa dan diwawancarai habis-habisan tentang aktivitasku seharian bersama Roy hingga aku tersudut tidak bisa menjawab lagi.Â
Kadang aku berpikir mungkin dulu cita-cita terpendam Papa adalah menjadi seorang reporter televisi karena segala pertanyaan yang diajukannya padaku sungguh menjebak dan tidak dapat ditebak. Sejenak aku tertawa sendiri dengan masygul.
"Jadi kapan demo tape kalian akan ditawarkan ke Mawar Berduri Records?" tanyaku ketika mobil butut Roy memasuki jalan tol yang sudah tersendat. Mawar Berduri Records adalah label rekaman bergengsi nomor satu di negeri ini, menjadi target utama semua musisi rock untuk melejit, sukses dan populer, mewujudkan mimpi-mimpi.Â
"Rencananya bulan depan. Mudah-mudahan bisa langsung ketemu dengan bosnya, Ibu Ari Budiyanti dan Ibu Dewi Leyly. Kebetulan ada kawan lamaku yang kenal sama anaknya Ibu Dewi." Roy menjawab dengan mata yang terus mengawasi arus kendaraan di hadapannya. Aku mengangguk-angguk.
"Kalau tembus rekaman, mungkin Papamu akan melunak sedikit karena ia tahu calon menantunya akan jadi rockstar." lanjutnya sedikit berseloroh. Aku pun tertawa. Namun tawa itu segera terhenti ketika kurasakan mobil Roy mulai ndut-ndutan. Kendaraannya ini memang tidak dapat diprediksi, kadang ia sehat-sehat saja kadang mogoknya kambuh dan langsung akut. Aku segera dikepung rasa panik. Berharap tidak sekarang ini terjadi.
"Haduh, mogok lagi!" Roy menggerutu sambil berusaha menstarter mobilnya berulang-ulang. Di belakang, bunyi klakson mobil saling bersahutan tiada henti seolah meneriaki mobil Roy yang malang. Untunglah tidak lama kemudian mesinnya kembali menyala meski kembang kempis. Roy segera meminggirkan mobilnya. Setelah itu, bisa kurasakan sang mesin seperti hendak mengucapkan selamat tinggal.
Gawat! Sudah mogok, bagaimana pula caranya bisa keluar dari kemacetan yang nampaknya bakal berlangsung selamanya ini? batinku cemas. Seketika kutatap langit yang mendung, membuat cemasku bertambah beringas.Â
Kulihat Roy yang masih berusaha menstarter mobilnya lagi. Akhirnya ia menyerah lalu segera turun untuk memeriksa mesin mobil. Aku mengikutinya keluar dengan rasa gelisah bukan kepalang. Dalam hati aku sudah tahu keadaan yang harus kuhadapi nanti di teras rumah.
*