Pada album solo keempat dan menjadi album terakhirnya yang dirilis pada 17 Oktober 2011 bertajuk The Secret Codes and the Battleship, Darren Hayes memilih kembali ke jalur pop seperti sedia kala dengan salah satu single andalan, Bloodstained Heart yang berisi tentang sebuah kepedulian tanpa pamrih terhadap orang yang dicinta. Single ini pun sempat menjadi hits di radio-radio Inggris dan Australia.Â
Berikut adalah penampilannya dalam sebuah live acoustic yang menunjukkan kualitas vokal, tarikan falsetto dan tentu saja kedahsyatan lirik-lirik lagunya.Â
Buat saya, konser live acoustic bisa dijadikan barometer untuk mengetahui sejauh mana kapasitas seorang penyanyi atau sebuah grup band. Itu menurut saya ya, orang awam yang cuma senang mendengarkan musik, bukan pemusik apalagi pengamat musik.Â
Dan sebagai seorang fans Savage Garden dan Darren Hayes, dengan bangga saya bisa bilang kalau ia adalah salah seorang penyanyi yang tidak pernah mau melakukan lipsync alias pura-pura nyanyi, dalam setiap penampilannya.
Meski ia kini tinggal di Amerika Serikat dan memilih untuk menjadi anonymous, di negeri kelahirannya, ia dianggap sebagai musisi senior dan sangat disegani.Â
Sejalan dengan promosi album yang dilakoninya, ia menyempatkan diri tampil dalam acara The X-Factor Australia 2011 sebagai bintang tamu disambung dengan penampilannya sebagai coach tamu pada The Voice Australia 2012, bernaung di kubu penyanyi asal Sydney, Delta Goodrem yang juga merupakan teman dekatnya.
Darren Stanley Hayes lahir 8 Mei 1972 dan besar di Logan City, sebuah daerah pinggiran kota Brisbane. Ia merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara, fanatik Star Wars dan King of Pop, Michael Jackson.Â
Ayahnya sangat disayangkan adalah seorang pemabuk berat dan kerap memanggilnya dengan sebutan gay. Dari kecil ia memang sudah bercita-cita menjadi seorang superstar namun ketika ia mengutarakan keinginan itu kepada sang ayah, ia malah terkena cibiran, ditertawakan dan diremehkan.Â
Sama seperti perlakuan ayahnya, di sekolahnya pun ia menjadi bulan-bulanan para kakak kelasnya. Mereka selalu memanggilnya banci tanpa ia sendiri tahu apa itu arti seorang banci.
Seakan melengkapi mimpi buruk masa-masa sekolahnya, pukulan demi pukulan serta semburan-semburan ludah kakak kelasnya pun selalu menjadi santapannya sehari-hari, membuatnya menjadi sosok yang emosional meski sebetulnya hatinya polos dan penuh kelembutan. Namun roda kehidupan berputar.Â
Ketika kakak-kakak kelasnya itu lulus, 'kebebasan' pun datang. Ia segera mempersiapkan dirinya untuk menggapai mimpi dengan mengikuti kelas musik di sekolahnya. Perlahan tapi pasti, mulailah ia bersinar.